Biografi Lengkap Nelson
Mandela
David Beckham berfoto bersama Nelson Mandela (mengenakan batik). |
Nelson Mandela lahir
pada tanggal 18 Juli 1918 dengan nama Rolihlahla
Dalibhunga Mandela di desa Qunu,
suatu desa kecil di wilayah Transkei – Afrika Selatan. Ia mendapatkan nama
Nelson dari gurunya yang seorang Methodis. Ayahnya bernama Henry Mgadala, seorang kepala suku desa tersebut dan mempunyai 4
orang istri. Mandela lahir dari istri yang ketiga bernama Nosekeni Fanny. Mandela tumbuh normal seperti anak-anak biasanya.
Saat kecil, Mandela dan sepupunya, Justice
Bambilanga sering mendapat tugas untuk menggembalakan ternak. Tahun 1927,
karena sakit parah yang dideritanya, Henry Mgadala meninggal dan Mandela
dititipkan pada adik ayahnya yang juga pamannya, Jongintaba Dalindyebo. Saat itu juga Mandela pindah ke desa Mqekezweni. Di tempat ini Mandela
sangat senang karena ada sepupunya, Justice. Mereka berdua bersahabat dan
selalu berdua kemana pun pergi. Mereka selalu bersama-sama dan tak terpisahkan.
Di tahun itu juga, Mandela dan Justice masuk sekolah dasar di daerah setempat.
Mandela dan Justice sangat menyukai mata pelajaran bahasa Inggris dan keduanya
sangat menonjol di bidang ini. Mandela dan Justice adalah anak yang cerdas di
kelasnya dan selalu mendapatkan nilai sempurna pada setiap tugas maupun ujian.
Mandela dan Justice selalu meluangkan waktu untuk belajar bersama, mengulang
materi pelajaran yang diberikan guru di sekolah.
Mandela dan Justice
lulus dari SD dengan nilai sempurna. Jongintaba mengadakan syukuran dengan
mengundang seluruh penduduk desa untuk jamuan syukur. Jongintaba menginginkan
agar Mandela dan Justice melanjutkan SMP di Clarkebury
Junior High School, SMP yang dikhususkan untuk warga kulit hitam. Di
usianya yang masih 10 tahun, Mandela bertanya pada pamannya mengapa harus ada
pembedaan antara kulit hitam dan kulit putih. Di sekolah ini Mandela sangat
tenar karena keluwesannya dalam bergaul. Mandela sangat menjunjung sopan santun
dalam bergaul sehingga banyak memperoleh teman-teman baru. Mandela sangat
menonjol dalam berbagai bidang akademik. Ia tidak pernah pilih-pilih teman, itu
yang membuat ia sangat disukai oleh teman-temannya, karena biasanya
kecenderungan bagi siswa yang pintar hanya bergaul dengan yang pintar saja. Mandela
dan Justice lulus tepat waktu dengan nilai yang baik. Jongintaba pun memasukkan
mereka berdua ke SMA Healdtown Methodist
Boarding School, SMA yang dikhususkan untuk warga kulit hitam. Disini mereka tinggal di asrama dan hidup
disiplin. Di SMA, Mandela sering berdiskusi dan terlibat dalam
perdebatan-perdebatan kecil seputar hukum apartheid di Afrika Selatan. Banyak
kebijakan pemerintah yang terkesan membeda-bedakan, seperti bus yang dipisahkan
bagi kulit putih dan kulit hitam, larangan masuk taman kota bagi kulit hitam,
atau pintu masuk instansi pemerintah yang dibedakan bagi kulit putih dan kulit
hitam.
Tahun 1938, Mandela
dan Justice lulus dari SMA ini. Guru-gurunya sangat bangga pada mereka berdua
atas berbagai macam prestasi yang mereka raih di sekolah. Kelulusan ini
disambut gembira oleh seluruh keluarga Jongintaba. Jongintaba mengundang
seluruh penduduk desa untuk mengikuti jamuan syukur dan berpidato di depan
seluruh desa bahwa kelulusan Mandela dan Justice membuktikan bahwa kulit hitam
mampu bangkit dari keterpurukan. Jongintaba berencana memasukkan Mandela dan
Justice ke Fort Hare University. Disini,
Mandela dan Justice sama-sama mengambil jurusan hukum, karena mereka memiliki
motivasi untuk membela kepentingan warga kulit hitam. Mandela sangat aktif dan
vokal selama menjadi mahasiswa, begitu pula Justice. Mereka berdua sangat rajin
dan tekun dalam mengikuti kuliah. Nilai-nilai mereka sangat bagus dan
menyenangkan dosen-dosen mereka. Mandela pernah dicalonkan untuk menjadi ketua
Senat Mahasiswa namun ditolaknya karena ia ingin fokus untuk belajar. Di
universitas ini, mahasiswa kulit hitam dan kulit putih menjadi satu, namun
kebijakan universitas lebih banyak menguntungkan kaum kulit putih. Di sela-sela
waktu luang pada malam hari, Mandela bersama teman-temannya sering berdiskusi
mengenai hukum apartheid di Afrika Selatan, terutama mengenai Kartu Pass Jalan
(Pass-card), yaitu kartu yang tanda pengenal harus dibawa warga kulit hitam
apabila memasuki kota. Jika tidak membawa kartu ini maka mereka akan didenda
atau dipenjara. Mandela mengeluhkan sikap pemerintah yang tidak adil ini karena
warga kulit putih dapat bebas pergi kemana saja tanpa memakai pass-card.
Kadangkala, Mandela dan teman-temannya harus kucing-kucingan dengan dosen untuk
mengikuti diskusi ini karena apabila ketahuan, mereka akan dikeluarkan dari
universitas dan terancam pidana. Mandela dan Justice pernah menjadi ketua demo
mahasiswa kulit hitam yang disebabkan karena pihak universitas tidak
memperhatikan mutu dan gizi makanan di asrama mahasiswa kulit hitam. Direktur
universitas melihat hal ini sebagai ancaman yang berkelanjutan. Maka ia
memanggil mereka berdua dan menuding mereka sebagai provokator demo. Pihak
universitas memberikan skorsing bagi mereka berdua untuk jangka waktu yang tidak
bisa ditentukan. Pihak universitas mengambil kebijakan ini dengan harapan agar
Mandela dan Justice pergi meninggalkan universitas ini, dan hal itu terjadi.
Mandela dan Justice pulang kampung. Kepulangannya ini sangat disesali dan
disayangkan oleh semua mahasiswa kulit hitam di Fort Hare University, mereka
seolah seperti anak ayam kehilangan induk.
Mandela dan Justice
pulang ke rumah Jongintaba. Jongintaba sangat marah mengetahui keadaan mereka
yang mengundurkan diri dari universitas. Jongintaba memarahi Mandela karena merasa
bersalah pada ayah Mandela, mengingat wasiat terakhir dari Henry Mgadala adalah
meminta Jongintaba untuk menyekolahkan Mandela sampai universitas. Jongintaba
meminta Mandela untuk meminta maaf pada pihak universitas, Mandela menolak permintaan
pamannya ini karena hal itu sama saja mempermalukan diri sendiri dan mahasiswa
kulit hitam lainnya. Mandela yang tidak tahan dengan kemarahan pamannya ini
mengajak Justice untuk kabur ke Johannesburg, bekerja di tambang emas. Malam
harinya mereka berangkat diam-diam. Di tambang emas, Mandela dan Justice
mendapat posisi sebagai pengawas karena keahlian mereka dalam bidang
administrasi dan berbahasa inggris. Mandela melihat penderitaan masyarakat
kulit hitam yang harus bekerja mengambil emas di tanahnya sendiri lalu harus
diserahkan pada kulit putih, sementara mereka mendapatkan upah kerja yang tidak
layak. Mandela sangat sedih melihat fenomena di depan matanya ini. Mandela
sering meloloskan karyawan yang sakit dan memasukkan absensi kerja sehingga karyawan
tersebut tidak dianggap bolos kerja yang berakibat dikuranginya upah kerja.
Jongintaba yang mengetahui hal ini segera menyusul mereka ke Johannesburg serta
menjemput mereka untuk pulang. Mandela tidak mau pulang dan berkeinginan
melanjutkan sekolahnya yang terhenti dengan mencari universitas di
Johannesburg. Jongintaba tak kuasa menolak, maka Justice pulang kembali ke
kampung halamannya sementara Mandela bertahan di Johannesburg. Johannesburg
adalah kota yang modern, terbagi menjadi distrik utara dan selatan. Di utara
adalah pemukiman warga kulit putih yang elit dan modern dengan rumah-rumah
mewah sementara di selatan adalah pemukiman warga kulit hitam yang kumuh dan
jorok, sesak, dan rumahnya saling berhimpit-himpitan bernama Alexandra
Township, disinilah Mandela tinggal. Mandela mengambil kuliah jarak jauh
jurusan hukum dibawah bimbingan ahli hukum kulit putih, Lazer Sidelsky. Lazer sangat menaruh perhatian pada Mandela karena
kecerdasanya di bidang hukum, bahkan Lazer menganggap Mandela sebagai adiknya
sendiri. Di bawah bimbingan Lazer, Mandela memperoleh gelar sarjana muda hukum.
Mandela menjalin persahabatan dengan Walter
Sisulu, tokoh berpengaruh dalam pergerakan kaum kulit hitam Afrika Selatan
di organisasi ANC (African National Congress) – organisasi
yang memperjuangkan hak-hak kaum kulit hitam di Afrika Selatan. Mandela lantas
tinggal di rumah Walter di daerah Orlando. Ia berkenalan dengan sepupu
perempuan Walter bernama Evelyn Ntoko
Mase dan menikahinya pada tahun 1944. Mandela sangat menggemari olahraga
tinju dan sering berlatih tinju di sasana temannya.
Mandela melanjutkan
kuliah hukumnya yang tertunda di Witwatersrand
University – Johannesburg. Universitas ini dipenuhi oleh mahasiswa kulit
putih dan kulit hitam dari keluarga terpandang. Sama seperti di Fort Hare University, di kampus ini pun
mahasiswa kulit hitam mengalami diskriminasi yang ekstrem. Karena kekritisannya
terhadap pembedaan ini pula yang menyebabkan Mandela kembali gagal di
Witwatersrand. Mandela keluar dari universitas ini karena tidak tahan dengan
tekanan pihak universitas.
Mandela yang gerah
dengan keadaan diskriminasi ini bergabung dengan kaum Nasionalis di bawah
pengaruh Walter dan mendirikan “Liga
Pemuda ANC” (ANC Youth League),
yang bertujuan menyaring kader-kader muda untuk masuk dalam ANC. Saat itu di
Afrika Selatan, iklim politik dipengaruhi oleh ideologi, Komunis, Sosialis, dan
Nasionalis. Mandela berusaha mendekati warga kulit putih dan sering mengajak
mereka berdialog mengenai hukum apartheid di Afrika Selatan, metodenya ini
berbeda dengan metode kebanyakan yang lebih memakai cara ekstrem kepada kulit
putih. Mandela lebih banyak mengajukan diskusi mengenai akibat perang dunia
ke-II yang saat itu terjadi, serta kesengsaraan masyarakat akibat perang.
Pandangannya ini membuat ia memperoleh banyak dukungan dari warga kulit putih
berbagai golongan. Tahun 1948 Mandela terpilih menjadi Sekretaris Jendral Liga
Pemuda ANC dengan 0% suara menolak. Mandela menegaskan pada Liga agar tidak
bekerjasama dalam bentuk apapun dengan kaum Komunis dan Sosialis, Mandela
sangat membenci kedua ideologi ini. Mandela meminta Liga agar lebih tegas
kepada kulit putih, namun menjauhi tindakan anarkis. Mandela mengusulkan agar
kulit hitam melawan dengan mengikuti jejak Mahatma Gandhi, yaitu menolak
bekerjasama dengan kulit putih dalam bentuk apapun apabila mereka masih tetap
menerapkan diskriminasi kepada kaum kulit hitam. Usulannya ini diterima oleh
Liga dengan 0% suara menolak dan disahkan dalam Konferensi Nasional ANC.
Perdana mentri Afrika
Selatan saat itu, H. F. Verwoed memanggil
jaksa agung untuk membuat UU yang melarang berdirinya organisasi politik,
termasuk ANC. Rencana ini bocor dan sampai pada partai komunis. Partai komunis
akan mengadakan mogok kerja besar-besaran pada 1 Mei 1950. Mandela melarang
kader-kader ANC untuk mengikuti rencana partai komunis tersebut karena dapat
berakibat bentrok fisik dengan polisi, Mandela meminta kader ANC di seluruh
Afrika Selatan tetap bekerja seperti biasanya. Maka mogok kerja pun
dilaksanakan, namun hanya warga kulit hitam penganut paham komunis saja yang
melakukan pemogokan kerja dan demo. Polisi yang menangani demo ini melakukan
tindakan brutal dengan menembaki pendemo sehingga 8 orang tewas. Partai komunis
yang geram dengan kelakuan pemerintah ini akan mengadakan pemogokan massal yang
lebih besar dan akan dilaksanakan pada tanggal 26 Juni 1950. Partai komunis
menawarkan Mandela dan ANC untuk ikut serta dalam demo besar-besaran ini.
Mandela sedikit bimbang dengan tawaran ini karena ia membenci paham komunis.
Namun keputusan ini terpaksa ia terima mengingat banyak anggota ANC yang setuju
dengan tawaran dari partai komunis ini. Maka pada tanggal itu diadakanlah
demonstrasi buruh besar-besaran dan pemogokan kerja massal di seluruh
Johannesburg. Sama seperti demo sebelumnya, polisi bertindak brutal dalam
membubarkan massa demo.
Tahun 1951 Mandela
terpilih sebagai ketua Liga Pemuda ANC di propinsi Transvaal – Afrika Selatan.
Pada tahun 1952, Mandela bersama rekannya, Oliver
Tambo mendirikan lembaga bantuan hukum untuk kaum kulit hitam yang memiliki
banyak peminat dari berbagai macam golongan kulit hitam tanpa dipungut biaya.
Pada tahun yang sama, Mandela ditangkap polisi karena dianggap sebagai
provokator yang mengerahkan sejumlah anak-anak muda kulit hitam untuk masuk ke
area terlarang bagi kulit hitam seperti taman kota, taman bermain, dan tempat
hiburan yang dikhususkan untuk kulit putih. Mandela bebas bersyarat setelah ANC
membayar uang jaminan. Keluar dari penjara, Mandela semakin giat berkampanye ke
seluruh Afrika Selatan untuk menentang UU apartheid yang telah berlangsung
selama dua setengah abad di Afrika Selatan. Kampanye ini berhasil dengan
sukses, sehingga banyak orang kulit hitam di berbagai kota di Afrika Selatan
yang sengaja mencari gara-gara dengan memasuki zona terlarang bagi kulit hitam.
Polisi menjadi semakin brutal dengan melakukan tindakan kekerasan dan
intimidasi terhadap warga kulit hitam. Perdana mentri yang cemas akan
pembangkangan dan pelanggaran hukum di berbagai daerah ini mengeluarkan UU yang
mengesahkan hukuman penjara 5 tahun bagi tiap kulit hitam yang memasuki zona
terlarang yang dikhususkan bagi kulit putih. Polisi mendobrak markas ANC Youth
League dan membawa serta 21 aktivis ke kantor polisi termasuk Mandela. Tuduhan
mereka di pengadilan sangat memberatkan karena mereka dituduh sebagai kader
komunis. Mandela yang melek hukum menolak tuduhan ini dan membela ANC Youth
League di depan pengadilan. Usaha Mandela sukses, ANC Youth League tidak jadi
dibubarkan dan seluruh aktivis yang sedianya akan dipenjara itu dibebaskan
dengan membayar uang jaminan yang kemudian dibayarkan oleh ANC.
Tahun 1953, surat
kabar di seluruh Afrika Selatan mengumumkan ANC sebagai organisasi politik
ekstrim dan memerintahkan semua kadernya untuk tidak mengadakan rapat dalam
jangka waktu yang tidak bisa ditentukan, ditambah seluruh kader ANC dan aktivis
kulit hitam, termasuk Mandela tidak boleh meninggalkan Johannesburg. Kehidupan
Mandela dan ANC saat itu diawasi secara penuh oleh pemerintah. Mandela geram
atas tindakan propaganda pemerintah yang sewenang-sewenang ini. Ia
memerintahkan seluruh kader ANC Youth League di Afrika Selatan untuk memasang
poster-poster bernada protes di seluruh Afrika Selatan. Mandela yang keras
kepala dan tidak gentar dengan ancaman pemerintah ini tetap mengadakan rapat
dan konferensi wilayah ANC, mengobarkan semangat kaum kulit hitam dengan
pidato-pidatonya dan seruan-seruannya untuk mengadakan perlawanan dengan damai
tanpa kekerasan. 26 Juni 1955 diadakanlah kongres rakyat di Johannesburg.
Mandela mengikuti kongres ini dengan menyamar sebagai pria tua berjanggut tebal.
Mandela menyusun ‘draft kebebasan’ dan meminta pemimpin kongres untuk
membacakan draft itu. Seluruh peserta kongres yang mendengarkan draft itu
sontak bergemuruh, terharu, dan menyetujui draft ini. Sial bagi Mandela,
rencana kongres ini bocor ke polisi sehingga polisi menerobos masuk dalam
kongres secara tiba-tiba dan membubarkan kongres. Polisi juga menyita
dokumen-dokumen kongres termasuk ‘draft kebebasan’ yang baru saja disahkan.
Penyamaran Mandela terbongkar, ia dan seluruh aktivis ANC kembali digiring ke
kantor polisi untuk disidang. Mandela dituduh makar dan ingin mengganti
pemerintahan di Afrika Selatan dengan paham komunis. Mandela kembali bisa
berkelit dan bebas dari tuduhan berkat kelihaiannya dalam bidang hukum.
Tahun 1956, Mandela
bercerai dengan istrinya, Evelyn Ntoko Mase karena aktivitas Mandela yang lebih
banyak ia curahkan untuk kegiatan ANC. Mandela sangat bersedih dengan tuntutan
cerai istrinya ini namun ia tak berdaya membendung keinginan istrinya untuk
bercerai. 14 Juni 1958 Mandela menikah dengan seorang wanita bernama Winnie Madikizela di Transkei. Bulan
Agustus 1958, partai baru lahir, bernama Pan
African Congress (PAC) di bawah
pimpinan Robert Manggaliso Sobukwe.
PAC tidak sejalan dengan ANC yang lebih menerapkan aksi damai, PAC ingin aksi
yang lebih ekstrim. PAC menuduh ANC dibawah Mandela telah disuap oleh kulit
putih. 21 Maret 1960, PAC mengadakan demo besar-besaran di kota Sharpeville
yang melakukan aksi ‘robek pass-card’. Mereka menuntut pemerintah untuk
menghapuskan peraturan pass-card. Polisi datang dan langsung menembaki
demonstran. 69 demonstran tewas dan sisanya terluka parah. Pembantaian
Sharpeville ini menjadi headline koran-koran
di seluruh dunia. Dunia lantas mengecam tindakan polisi Afrika Selatan
yang brutal ini. ANC sangat marah dengan tindakan pemerintah ini. Mandela memerintahkan
seluruh kader ANC dan ANC Youth League di seluruh Afrika Selatan untuk
mengadakan mogok kerja massal dan aksi ‘bakar pass-card’. April 1960, terjadi
pemogokan kerja dan demonsrasi massal terbesar dalam sejarah Afrika Selatan.
Mandela yang ikut dalam demo membakar pass-card miliknya dan diikuti oleh
seluruh demonstran yang mengikutinya. Polisi datang dan berusaha menghalau
massa dengan ekstrim dan brutal. Polisi juga mendobrak barak pekerja Capetown
dan menyuruh para pekerja untuk kembali bekerja. Pada bulan itu juga,
pemerintah menetapkan ANC dan PAC sebagai partai terlarang. Mandela ditangkap
dan dipenjara selama setahun. Selama Mandela dipenjara, ANC tetap berjalan
secara rahasia dipimpin oleh Oliver Tambo. ANC membentuk organisasi Umkhonto We Swize (The Spear of Nation) atas perintah Mandela. ANC yang ingin
membalas dendam karena Mandela dipenjara merencanakan sabotase pada tanggal 16
Desember 1961, hari dimana saat kulit putih merayakan perayaan invasi mereka di
Afrika Selatan dan atas kemenangan mereka terhadap suku Zulu. Beberapa kader
ANC melemparkan granat di tengah suasana pesta dansa yang meriah, beruntung
tidak ada korban jiwa.
Polisi geram dengan
peristiwa sabotase yang mengancam nyawa perdana mentri ini. Namun polisi tidak
memiliki bukti yang cukup untuk menangkap Mandela atas tuduhan sabotase ini.
Polisi pun mengerahkan intelijen untuk mengawasi rumah Mandela dan markas ANC
selama 24 jam. Mandela dan para petinggi ANC merasa terisolasi dengan keadaan
ini. Mandela terpaksa mengungsi ke luar negeri. Mandela pergi ke berbagai negara
di Afrika dan Eropa tanpa passport. Mandela juga belajar militer di Algeria.
Mandela tetap mengurus ANC dalam komunikasi jarak jauh. Setahun kemudian, ia
pulang ke Afrika Selatan dan merubah nama serta penampilannya. Ia menyamar
sebagai supir truk dengan nama David
Motsamai. Di Afrika Selatan, Mandela ternyata menjadi buronan yang diincar
oleh polisi selama ini. Polisi yang mengetahui penyamaran ini melalui informan
lalu menangkap Mandela di Durban, 5 Agustus 1962 saat Mandela sedang
mengendarai truknya. Mandela pun diajukan ke pengadilan Pretoria dengan tuduhan
menghasut rakyat untuk melancarkan kudeta dan lari ke luar negri secara
illegal. Ia dikenakan pidana kurungan selama 5 tahun di Cape Town. Sebelum ke
Cape Town, Mandela dititipkan di penjara Pretoria sebagai tahanan titipan
selama 3 bulan. Maka Mandela dibawa ke Cape Town, perjalanan dari Pretoria
sampai Cape Town membutuhkan waktu 12 jam perjalanan darat. 24 Mei 1963,
Mandela dipindah ke penjara pulau Robben sebagai tahanan pekerja di tambang batu.
Penjagaan di pulau Robben sangat ketat dan penuh dengan peraturan-peraturan
yang mengekang kebebasan bersuara. Oktober 1963, Mandela dibawa lagi ke
Pretoria untuk menjalani sidang lanjutan. Mandela mendapatkan tuduhan yang
sangat keras dari pengadilan yang mendakwa Mandela telah melakukan gerakan
bawah tanah untuk menggulingkan pemerintah dan ingin melakukan revolusi,
terutama organisasi Umkhonto We Swize yang didirikannya itu. 12 Juni 1964,
Mandela dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan dan akan dieksekusi di penjara
pulau Robben. Hukuman ini mendapat kecaman keras dari PBB dan negara-negara
lainnya di dunia, termasuk Indonesia yang diwakili oleh presiden Soekarno.
Pemerintah Afrika Selatan lalu mengganti hukuman mati dengan hukuman penjara
selama 18 tahun di penjara pulau Robben.
Di dalam penjara,
Mandela sangat dihomati oleh tahanan lain. Mandela sangat terkenal di kalangan
tahanan. Bahkan tersebar gosip bahwa Mandela akan menjadi pemimpin masa depan
Afrika Selatan kelak. Kepala penjara melihat hal ini sebagai ancaman namun
tidak bisa berbuat apa-apa karena PBB terus mengawasi proses hukum Mandela.
Maka sipir penjara memindahkan Mandela dalam satu penjara yang khusus untuk
dirinya, tanpa ada tahanan lain. Suasana penjara sangatlah buruk, makananya sangat
tidak layak, air dijatah sehari satu ember, BAB dan BAK dilakukan dalam satu
sel. Mandela yang di dalam penjara sangat merindukan Winnie, istrinya. Winnie
sendiri dibuang ke desa Brandfort oleh pemerintah karena ia juga sangat vokal
menentang diskriminasi pemerintah terhadap kaum kulit hitam bersama ANC, namun
masih lebih baik dari suaminya, Winnie hanya dikenakan tahanan rumah. PBB terus
mengecam tindakan pemerintah Afrika Selatan yang memenjarakan Mandela ini. Nama
Nelson Mandela telah menjadi nama yang terkenal di dunia internasional. Tahun
1976, ketika Mandela berusia 58 tahun, pemerintah Afrika Selatan membuat
kesepakatan dengan Mandela. Pemerintah bersedia membebaskan Mandela dan akan
memberikan Mandela berbagai macam fasilitas hidup yang mewah dengan syarat
Mandela tidak boleh lagi terjun ke dalam dunia politik. Mandela menolak
mentah-mentah tawaran pemerintah ini dan lebih memilih hidup di penjara
daripada mengkhianati suku bangsanya sendiri.
Saat beberapa
petinggi militer Afrika Selatan mengunjungi Mandela di penjara, mereka menanyai
Mandela apakah ia menyimpan dendam kepada orang kulit putih. Mandela menjawab
bahwa ia sama sekali tidak pernah membenci kulit putih ataupun menyimpan rasa
dendam, bahkan sejak pertama kali dirinya mendirikan ANC Youth League. Mandela
sangat menghormati kulit putih dan selalu menganggap bahwa mereka sebenarnya
adalah orang-orang yang baik. Mandela mengatakan pada para petinggi militer
bahwa dirinya dan ANC hanya ingin agar Afrika Selatan dapat menjadi negara yang
diisi oleh multi-etnis, putih dan hitam, agar dapat bersama-sama membangun
Afrika Selatan yang lebih baik dan dikagumi dunia internasional. Berita
wawancara Mandela dan petinggi militer Afrika Selatan ini meluas di seluruh
dunia. Masyarakat internasional menaruh hormat pada Mandela dan menyuarakan
tuntutan untuk membebaskan Mandela. Tahun 1982, Mandela dipindahkan ke penjara
Pollsmoor yang merupakan penjara mewah dengan segala fasilitas yang elit.
Mandela sangat heran mengapa ia dipindah ke penjara yang mewah ini. Usia
Mandela saat itu 64 tahun. Disini, Mandela sangat diperhatikan, baik makanan,
lingkungan, maupun kesehatannya. Dokter selalu memeriksa kesehatan Mandela
sebulan sekali. Mandela menjalin persahabatan dengan menteri kehakiman dan
kepala penjara. Mandela sangat dihormati oleh para sipir penjara. Januari 1985,
P. W. Botha terpilih menjadi
presiden Afrika Selatan yang baru. Ia menawarkan pembebasan tanpa syarat dan
pemberian hadiah kepada Mandela asalkan ia mau meninggalkan panggung politik
dan ANC. Mandela menjawab melalui surat yang dibacakan oleh anaknya, Zinozi, pada pertemuan ANC di Soweto. Isi
surat itu menyatakan bahwa Mandela akan berunding dengan pemerintah apabila Ia,
aktivis ANC, dan tahanan politik kulit hitam lainnya juga dibebaskan dari
penjara. P. W. Botha menolak tuntutan Mandela ini sehingga Mandela juga menolak
tawaran Botha.
Tuntutan terhadap
pembebasan Mandela terus digemakan di seluruh penjuru dunia. 18 Juli 1988,
tepat pada saat hari ulang tahunnya yang ke-70, para musisi dunia mengadakan
konser megah di Stadion Wembley – London untuk menghormati Mandela dan
menyuarakan tuntutan mereka yang ingin agar Mandela dibebaskan. Konser megah
ini ditayangkan di televisi dan ditonton oleh lebih dari 60 negara di seluruh
dunia. Saat itu Mandela terserang penyakit TBC dan harus dirawat di rumah
sakit. Setelah sembuh, Mandela dipindahkan ke penjara Victor Verster di Cape
Town. Di penjara ini, Mandela disediakan satu rumah yang khusus untuknya dan
beberapa sipir yang melayani kebutuhan hidup Mandela. Januari 1990, Frederik Willem De Klerk terpilih
menjadi presiden Afrika Selatan yang baru menggantikan Botha. 2 Februari 1990,
Presiden de Klerk mencabut larangan bagi ANC untuk berorganisasi dan memperbolehkan
ANC untuk kembali aktif dalam panggung politik. Keputusan ini disambut gembira
oleh seluruh rakyat Afrika Selatan. 11 Februari 1990, presiden de Klerk
mengeluarkan keputusan untuk membebaskan Mandela dari penjara tanpa syarat
setelah mendapatkan tekanan dari dunia internasional, setelah bebas, Mandela
berpidato di depan ribuan orang di City Hall, Cape Town. Pembebasan dan pidato Mandela
ini disiarkan di televisi, radio, maupun surat kabar di seluruh dunia. Tahun
1991, presiden de Klerk mencabut UU apartheid, dan dengan demikian, apartheid
sudah tidak berlaku lagi di Afrika Selatan. Tahun 1993, de Klerk dan Mandela
menerima medali Nobel Perdamaian. Akhirnya, Mandela terpilih menjadi presiden
kulit hitam Afrika Selatan pertama pada tanggal 10 Mei 1994 hingga Juni 1999. Tahun
1996, Mandela bercerai dengan Winnie dan menikahi Graca Machel, janda dari presiden Mozambik, Samora Machel.
Pada tahun 1994,
Mandela mendirikan mendirikan Nelson
Mandela Children’s Funds (NMCF)
yang menggalang dana dan berfokus pada pendidikan anak-anak. Pada tahun yang
sama pula, Ia mendirikan Nelson Mandela
Funds (NMF), yang berfokus pada
pencegahan penyebaran HIV/AIDS di seluruh Afrika. Mandela pensiun pada tahun
1999 dan banyak berkutat pada kegiatan sosial serta kegiatan-kegiatan
kemanusiaan. Ia menjadi ikon sepak bola dunia kala FIFA World Cup diadakan di
Afrika Selatan 2010 silam. Mandela menggunakan sepak bola sebagai sarana
persahabatan dan perdamaian bagi seluruh umat manusia. Mandela terus menyuarakan
perdamaian bagi seluruh dunia walaupun ia tak lagi menjabat sebagai presiden.
Ia sangat dikagumi dan dihormati oleh para pemimpin dunia. Kharismanya dan
setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya bagaikan kobaran api yang mampu
membakar semangat orang untuk selalu mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan. Pada
tahun 2003, Mandela mendirikan Mandela
Rhodes Foundation (NMF), sebuah
LSM yang berfokus pada pendidikan orang dewasa dengan memberikan beasiswa
pascasarjana kepada para mahasiswa berbakat dan bertalenta di Afrika Selatan,
baik itu kulit hitam maupun kulit putih. Tahun 2004, Mandela mengumumkan
pengunduran dirinya dari segala aktivitas publik dan ingin menghabiskan masa
tuanya dengan tenang. Ia mendirikan Nelson
Mandela Centre of Memory pada tahun 2004 hingga
akhirnya Tuhan memanggilnya pada tanggal 5 Desember 2013. Lebih dari 100 negara
menyiarkan prosesi pemakaman Nelson Mandela di desa kelahirannya, Qunu, baik
melalui TV, Radio, Surat Kabar, maupun Internet. 90 kepala negara dan lebih dari
70 tokoh dunia dari berbagai penjuru dunia datang untuk menghadiri prosesi
pemakamannya untuk memberikan penghormatan terakhir.
Sumber
:
H Nurmiadi. 2007. Nelson Mandela –
Pejuang Penentang Apartheid. Jakarta: Gramedia, Elex Media Komputindo.
0 komentar:
Posting Komentar