Search

Senin, 28 November 2016

BAGIAN 2 ETIKA. Oleh Prof. DR. Franz Magniz Soeseno, SJ.

KEBEBASAN DAN TANGGUNG JAWAB



A. Apa Kebebasan Itu?
            Sampai sini mungkin anda bingung, sebab dari awal saya katakan bahwa etika dan moral adalah sesuatu yang memiliki peraturan-peraturan baku. Mengapa kita bahas kebebasan? Hal ini karena peraturan-peraturan baku akan menjadi masuk akal jika manusia punya kebebasan. Saya berikan contoh: kemarin malam saya makan di warteg (warung tegal) depan kampus, saat saya selesai makan saya bertanya pada pemilik warteg berapa jumlah harga makanan yang saya makan dan harga seluruhnya adalah Rp. 20.000 termasuk minuman. Saya sodorkan uang Rp. 50.000; dan si pemilik warteg memberikan saya kembaliannya. Saya langsung ambil uang itu tanpa menghitung dulu jumlahnya (karena buru-buru). Saat di jalan, saya menghitung bahwa si pemilik warteg memberikan uang kembalian sejumlah Rp. 80.000; dan saya terkejut. Dari situ saya berpikir, “Wah, rejeki nih, udah makan enak dikasih duit lagi sama pemilik warteg”. Tapi tiba-tiba ada yang menegur saya dari dalam hati, “Janganlah kamu begitu, jujurlah! Coba pikirkan pemilik warteg tadi yang mengalami kerugian, dia bekerja dengan halal untuk mencukupi keluarganya! Tegakah kamu?”.
            SEKARANG PERHATIKAN, secara sadar saya bisa saja tidak menggubris (mengacuhkan) suara hati tadi, karena saya bebas berbuat apa saja, “yang salah kan pemilik warteg, ya bodo amat deh!”. Tapi secara moral, saya memiliki semacam “beban” yang membuat saya merasa wajib kembali ke warung dan menyerahkan kelebihan uang kembalian tadi. Dari kebebasan inilah ... akhirnya kita menyadari dan menjadi paham, disinilah kita punya kewajiban moral, “Oh iya ya, saya kan anak Tuhan, masa saya tidak jujur!”. Bayangkan! Dari kebebasan akhirnya muncul perilaku moral kita. Hal inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Hewan tidak tahu apa yang namanya kebebasan dalam menentukan moral, karena mereka bergerak berdasarkan insting/naluri saja. Singa betina yang kelaparan bahkan bisa memakan anaknya sendiri. Maka perilaku hewan itu bisa ditebak, “Oh buaya itu lagi lapar, kalau saya lempar daging ayam ini pasti akan disambarnya”, dan ternyata betul. Kebebasan manusia dinamakan “free-will” atau kehendak bebas (berikutnya disingkat FW).
            Manusia berpikir, berkehendak, dan berperilaku tidak hanya mengandalkan insting atau naluri saja. Seorang pengemis yang kelaparan setengah mati tidak berani merampok sebuah minimarket karena dia tahu bahwa hal itu akan membuatnya ditangkap polisi dan masuk sel tahanan. Tapi apakah si pengemis tadi bisa merampok minimarket? Bisa saja, kalau dia sudah nekat tentu saja bisa, asalkan bisa makan dahulu, mau ditangkap atau dipukul “yah bodo amat deh”, inilah yang dinamakan FW. Manusia bebas memilih dan berbuat ini itu, menentukan mana yang baik bagi dirinya, memikirkan resiko dari perbuatannya, dan mencanangkan masa depannya.
            Kalau kita logika-kan, kebebasan berarti orang lain tidak bisa memaksa atau melarang kita melakukan apa yang kita mau, karena kita bebas, inilah logika dari kebebasan. Nah, apakah pengertian itu betul sepenuhnya? Ternyata “TIDAK”. Lho kok bisa? Saya berikan contoh demikian: anda punya flat apartemen pribadi seluas 30 kali 20 meter. Lalu anda pasang lagu “Seize The Day” dari grup band Avenged Sevenfold dengan volume yang keras sekali. Tetangga sebelah anda marah-marah dan mengatakan anda mengganggu kenyamanan orang lain, anda balas berkata, “Lho, suka-suka saya dong, ini kan apartemen saya!!”. Tiba-tiba satu jam kemudian anda digelandang ke kantor security dengan tuduhan mengganggu ketertiban umum. Nah, apakah itu kebebasan bagi anda? Salahkah anda? Padahal anda menyetel itu di flat anda sendiri?
            Filsuf terkenal dari Indonesia, Prof. DR. Franz Magnis Soeseno, Ph. D membagi kebebasan menjadi dua yakni “kebebasan sosial” dan “kebebasan eksistensial”. Kebebasan sosial adalah kebebasan yang kita terima dari orang lain, sementara kebebasan eksistensial adalah kemampuan kita untuk menentukan tindakan kita sendiri. Lho kok bisa? Bukannya sama saja ya? Mari kita bahas kedua tipe kebebasan ini secara mendalam:
1)      Kebebasan Eksistensial
            Artinya yaitu kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri, maksudnya adalah kebebasan ini tidak menekankan segi kebebasan “dari apa”, tapi kebebasan “untuk apa”. Kebebasan ini diwujudkan dengan tindakan yang disengaja. Lho? Memang ada ya tindakan yang tidak disengaja? Tentu saja ada. Kita bernafas, mengedipkan mata, dan mengalami irama detak jantung adalah tindakan juga, namun yang tidak disengaja, berjalan begitu saja. Lalu apa tindakan yang disengaja? Tindakan yang disengaja adalah tindakan yang memiliki tujuan demi menghasilkan sesuatu yang ingin dicapai. Contohnya begini: seekor anjing jika diberi sepotong daging sapi tidak akan berpikir dahulu, langsung saja disambar dan dimakannya. Lain hal dengan manusia, jika diberi sepotong daging sapi, manusia bisa memilih apakah daging itu akan dimakan hari ini, atau besok, atau lusa. Walau kelaparan bagaimana-pun, manusia bisa memilih apakah dia mau makan atau tidak. Terhadap naluri alaminya, manusia masih dapat mengambil keputusan bebasnya.
2)      Kebebasan Jasmani dan Rohani
            Kebebasan jasmani adalah keputusan manusia dalam menentukan apa yang mau dilakukannya secara fisik. Manusia dapat menggerakkan anggota tubuhnya sesuai dengan kemauannya sendiri. Namun, kebebasan ini tentu masih dalam kodratnya sebagai manusia biasa. Walaupun manusia menggerakkan tangannya keatas dan kebawah dengan kecepatan tinggi, manusia tetap tidak akan bisa terbang seperti burung di udara. Lalu apakah kebebasan jasmani kita dapat ditaklukkan? Tentu saja “YA”. Yang dapat menaklukan kebebasan jasmani kita adalah “paksaan” dari luar. Hal ini karena tubuh kita terikat dengan hukum-hukum alam (tubuh terdiri dari daging, tulang, dan kulit). Kebebasan jasmani kita dapat dikurangi atau dihilangkan dengan kekuatan dari luar yang lebih besar. Kebebasan kita dicegah dengan kekuatan yang tidak mungkin kita lawan atau memiliki kekuatan yang lebih besar. Sebagai contoh: seorang pencuri tertangkap dan diborgol di pagar, sepintar-pintarnya pencuri kabur, tentu dia tidak bisa kabur lagi karena tangannya sudah diborgol kuat, borgol itu terbuat dari campuran besi dan baja sementara tangan si pencuri hanya daging dan tulang saja. Mana bisa dilawan? Dengan tangan terbogol itu maka si pencuri “dipaksa” untuk ikut ke kantor polisi. Nah, kebebasan jasmaninya menjadi terkekang dan digantikan oleh “paksaan” terhadap sesuatu yang tidak dia inginkan, mau tidak mau, suka tidak suka si pencuri akan ikut ke kantor polisi.
            Yang menjadi pertanyaan, darimana munculnya kebebasan jasmani itu? Apakah ia muncul secara tiba-tiba? Secara naluri dan insting saja? Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya bahwa manusia itu berbeda dengan binatang karena manusia memiliki FW. Sumber utama dari kebebasan jasmani adalah kebebasan rohani. Kebebasan rohani adalah kebebasan kita dalam memikirkan segala sesuatu, menghendaki sesuatu, merencanakan sesuatu, dan membuat peta konsep. Kebebasan rohani tak terbilang luasnya. Seorang pencuri sebelum mencuri akan berpikir dahulu, rumah mana yang akan saya curi, apa benda berharga yang bisa saya curi, apa yang akan saya lakukan untuk masuk ke rumah tersebut dan kabur dengan aman. Maka dari itu, dalam setiap gelar perkara kasus kriminal, terlebih dahulu akan dicari tahu apa motif si tersangka melakukan kejahatan, barulah dapat dilihat delik pidananya dan hukuman yang akan dijatuhkan. Seorang pencuri yang mencuri karena kelaparan tentu berbeda dengan pencuri yang mencuri karena tergiur harta kekayaan. Sumber dari kebebasan rohani adalah akal budi manusia. Jadi apabila dibuat skema konsep hasilnya seperti demikian:
            Apakah kebebasan rohani itu bisa dilanggar oleh orang lain? secara langsung hal itu “TIDAK BISA”. Kenapa? Karena pikiran kita adalah kerajaan kita, orang lain tidak mengetahui apa pikiran kita, kita sendiri yang memikirkan sesuatu dalam otak kita. Kalaupun kita dibujuk atau ditekan oleh orang lain untuk melakukan sesuatu ini dan itu, tetap saja apa yang kita pikirkan tidak akan diketahui orang lain. Nah, disinilah seringkali manusia menjadi “munafik” dan seolah memakai topeng, tujuannya supaya orang lain senang pada kita padahal “lain di hati lain di mulut”.
            Perlu diingat juga bahwa tidak semua kemunafikan itu buruk, kadangkala kemunafikan itu juga dapat “menyelamatkan” orang tersebut. Kok bisa gitu? Contohnya: saat raja Henry Tudor dari Inggris memaklumkan agama Kristen Anglikan sebagai agama resmi kerajaan, seluruh rakyat Inggris (yang beragama Katolik Roma, Yahudi, dan Islam) berbondong-bondong masuk agama Kristen Anglikan. Apabila ada warga yang tidak menganut agama itu maka akan dihukum mati. Pertanyaannya, apakah mereka semua (rakyat Inggris) dengan rela hati masuk agama yang dianut raja? Tentu saja tidak! Mereka semua menjadi “munafik” secara “massal” karena takut akan ancaman hukuman mati. Apakah dapat dikatakan orang Inggris saat itu “munafik” semuanya? Tentu tidak, karena ini menyangkut nyawa. Sama halnya ketika kita dipaksa untuk mencintai orang yang tidak kita sukai, terlebih cerita tentang pernikahan yang dijodohkan (tidak didasarkan atas rasa cinta). Baik mempelai pria maupun wanita menyanggupi hal itu sebagai rasa takut dan hormat kepada orangtua, sehingga menjadikan diri mereka “munafik”. Inilah yang akhirnya mendorong “etika” lahir ditengah-tengah “moral” yang keliru.
            Ada juga cara untuk menghilangkan atau bahkan melenyapkan kebebasan rohaniah manusia dengan cara buatan, yakni dengan narkoba atau obat bius. Orang yang sudah “sakau” dan “fly” tentu tidak akan dapat berpikir dengan jernih, apakah satu ditambah satu sama dengan dua, atau apakah ditempeleng itu rasanya sakit atau tidak. Cara lainnya adalah dengan mengintimidasi orang lain, menyerang kejiwaan dan emosionalnya. Seorang tahanan Yahudi pada kamp konsentrasi Waffen-SS NAZI di Dachau yang berhasil selamat umumnya menjadi orang yang depresi dan mengalami gangguan kejiwaan, hal ini karena mereka telah mendapatkan siksaan baik secara fisik maupun psikis. Ada juga pengaruh hipnotis, yang membuat manusia menjadi hilang kesadaran dan menjadi “binatang sirkus” yang seolah-olah menurut saja pada perkataan/sugesti yang menghipnotisnya.
            Ada hubungan yang sangat erat antara kebebasan jasmani dan kebebasan rohani. Tindakan yang kita lakukan adalah bentuk perwujudan dari kehendak kita, bentuk nyata dari “apa sih yang kita pikirkan”. Saya mau tangan saya bergerak, maka tangan anda akan bergerak. Tentu saja kebebasan rohani kita tidak akan dapat diwujudkan kalau kebebasan rohani kita terkekang. Saya mau tangan saya bergerak bebas, tetapi tangan saya terikat di tiang, apakah saya bisa menggerakkannya? Tentu saja tidak, sebab tangan anda dalam posisi terikat. Sekuat apapun anda menyuruh tangan anda untuk bergerak, selama tangan anda masih terikat tentu tidak akan pernah bergerak.
            Kehendak sendiri dibedakan menjadi 2 yakni “keinginan” dan “kemauan”. Lho kok beda? Bukannya sama aja tuh?”, Maka dari itu disini akan kita bahas, apakah keinginan dan kehendak itu sama saja? Mula-mula kita bahas dahulu apa itu keinginan. Keinginan adalah khayalan, imajinasi, impian, lamunan, berandai-andai. Contoh dari keinginan adalah: “Saya ingin kaya, ingin sukses, ingin punya mobil, ingin ini dan itu”. Keinginan itu ibarat “raja” dalam otak kita, membius kita, membuat kita melambung tinggi seolah kita sudah menjadi seperti apa yang kita inginkan tersebut. Walau begitu, itu masih “keinginan” saja, belum tentu juga akan saya wujudkan atau saya lakukan, tidak wajib saya kerjakan, karena itu hanya khayalan saja. Nah, disinilah perbedaan yang lebar antara keinginan dan kemauan baru akan terkuak. Kemauan adalah “Jembatan” penghubung dari keinginan. Jika demikian, dalam kemauan, kalimatnya akan berubah dari yang semula “Saya ingin kaya” menjadi “Jika saya ingin kaya, maka saya harus bekerja keras”. Dengan demikian hal ini menjadi suatu kewajiban bagi saya untuk bekerja keras apabila ingin menjadi orang kaya, kewajiban ini adalah beban yang harus saya pikul.
3)      Makna Kebebasan Eksistensial
            Makna adalah arti dari segala seuatu yang kita lakukan, apakah tindakan kita memiliki maksud-maksud dan arti-arti tertentu, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. makna paling mendalam dari kebebasan adalah perasaan bahwa kita bisa melakukan apapun sesuai dengan kehendak kita sendiri. Jika demikian, maka kebebasan eksistensial adalah kebebasan yang otonom (mandiri, tidak ada paksaan, sukarela). Walau begitu, di tiap-tiap negara atau suku memiliki makna kebebasan yang beragam. Di negara Amerika Serikat yang menganut Liberalisme (kebebasan individu), tidak sama dengan negara Indonesia yang menganut Sosialisme (kebebasan yang menguntungkan dan tidak merugikan). Di Amerika, kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual, & trans-gender) bebas melakukan aktivitas seksual mereka, sementara di Indonesia menjadi hal yang sangat dilarang keras.

B. Kebebasan Sosial
            Sudah kita bahas sebelumnya mengenai kebebasan eksistensial, yaitu kebebasan manusia untuk menentukan dirinya sendiri, mau apa dan mau jadi apa. Tapi seringkali manusia tidak sadar akan kebebasannya, bahkan manusia tidak sadar bahwa mereka pernah atau masih memiliki kebebasan itu. Lho kok bisa? Gimana tuh maksudnya? Sebagai contoh: Onel tenggelam saat berenang, dan dia tidak bisa berenang. Kepalanya terendam di air dan Onel tidak bisa bernafas, tak lama ada orang yang menolongnya keluar dari kolam. Sesampai di permukaan air, Onel sangat lega karena bisa menghirup udara lagi. Dari situ Onel mulai berpikir, “Oh iya ya, jadi selama ini saya nggak sadar lho kalau saya tuh bebas untuk menghirup udara segar, gara-gara saya tenggelam aja makanya nggak bisa menghirup udara”. Manusia menjadi sadar akan kebebasannya “BARU” setelah ada sesuatu yang membatasinya, seperti contoh Onel, air membatasi dirinya dan udara yang selama ini bebas Ia hirup. Contoh lain: selama bertahun-tahun anak RW 004 bermain sepakbola di sebuah tanah lapang yang kosong, tiba-tiba ada sebuah plang yang bertuliskan; “DILARANG MASUK WILAYAH INI, TANAH INI MILIK HAJI MABRUR”. Lapangan tersebut sudah dikelilingi pagar-pagar berduri sehingga jangankan manusia, kucing pun tidak akan bisa masuk/melewatinya. Mendadak warga RW 004 baru sadar bahwa selama ini mereka bebas memakai lapangan itu, dan akhirnya kebebasan itu dihapus oleh pemilik tanah lapang tadi. Jadi, selama warga RW 004 bermain bola, saat itulah mereka sedang merasakan/melakukan kebebasan, namun mereka tidak pernah sadar, baru sadar setelah dilarang.


C. Lebih Rinci
            Sudah dibahas sebelumnya bahwa pembatasan dari kebebasan merupakan hal yang tidak dapat dilawan. Namun hal itu berlaku hanya apabila pembatasan itu dibuat-buat (seperti contoh pencuri yang diborgol). Tidak semua pembatas-pembatas untuk bertindak dapat kita rasakan sebagai pembatas kebebasan, ada kalanya hal ini dipengaruhi oleh faktor alamiah, pembatasan karena faktor alamiah ini tidak bisa disebut sebagai pembatas kebebasan. Maksudnya apa ya? Kok saya jadi bingung? – nah, mari kita bahas pelan-pelan.
            Contoh: rumah anda di Salemba dan hendak pergi bekerja di daerah Glodok, tapi ternyata pada hari itu di Salemba sedang terendam banjir bandang setinggi 2 meter. Anda melihat orang-orang tidak bisa bekerja dan pergi ke pengungsian. Nah, disini anda mengalami “pembatasan” dari aktivitas karena banjir tersebut; mau kerja tidak bisa, mau cari makan tidak bisa; dan hal ini mengganggu pikiran anda. Apakah karena banjir ini maka anda benar-benar mendapatkan “pembatasan” dari “kebebasan” anda? Tentu tidak. Memang betul bahwa banjir mengakibatkan pembatasan dari aktivitas rutin anda, namun anda tetap “bebas” melakukan segala sesuatu di tengah-tengah banjir itu. Nah, maka ketemu jawabannya, pembatas untuk bertindak (banjir) tidak mempengaruhi kebebasan (mau ngapain saja ditengah-tengah banjir itu), banjir tidak membuat kebebasan kita hilang walaupun aktivitas tersendat. Contoh lain: Tata berkunjung ke perpustakaan, dan kebetulan saat itu perpustakaan sedang sepi. penjaga perpustakaan mengira bahwa tidak ada orang lagi dalam perpustakaan, maka perpustakaan dikunci. Tata yang masih ada di dalam perpustakaan terpaksa menginap di perpustakaan seorang diri. Tentu saja Tata merasa marah dan jengkel karena tragedi itu, namun Tata tidak akan merasa terhina karena kebebasannya dibatasi atau dirampas oleh penjaga perpustakaan karena penjaga perpustakaan melakukan hal itu tidak disengaja dan sifatnya insidensial. Lain halnya kalau disengaja, baru kita merasa kebebasan kita dirampas atau dibatasi.
            Lalu siapa yang bisa merampas kebebasan kita? Tentu saja orang lain. terlepas dari faktor sengaja atau tidak sengaja, orang lain adalah faktor terbesar dalam merampas kebebasan kita. Mengapa hal ini bisa terjadi? sejatinya karena sifat “hukum rimba” masih ada dalam diri tiap manusia, yang kuat menindas yang lemah, ingin menunjukkan superioritas (kelebihan) untuk menutupi inferioritas (kekurangan) yang merupakan teori dari Alfred Adler, keinginan-keinginan untuk berkuasa atas orang lain (gila jabatan dan kekuasaan). Berhadapan dengan semuanya itu, maka kita berusaha untuk tidak berada di bawah paksaan atau intimidasi dari orang lain tersebut, dan hal inilah yang dinamakan dengan “Kebebasan Sosial”. Singkatnya, kebebasan sosial adalah suatu keadaan dimana kemungkinan kita untuk bertindak tidak dibatasi dengan sengaja oleh orang lain. Lalu bagaimana cara orang lain membatasi kebebasan kita? Prof. DR. Franz Magnis Soeseno, Ph. D membagi dalam 3 tipe mengenai cara manusia membatasi kebebasan manusia yang lainnya, yakni:
ü  Dengan Paksaan Fisik, artinya orang dapat memakai kekuatan fisik untuk membatasi kebebasan dan membuat kita menjadi tak berdaya, contohnya kasus kekerasan dan pemerkosaan, penjambretan, dan begal motor.
ü  Dengan Paksaan Psikis, artinya manusia dibuat agar tidak bisa berpikir, mengarahkan kehendak orang lainnya, menguasai pikiran orang lain. hal ini sesungguhnya jauh lebih jahat daripada paksaan fisik. Contoh misalnya: memaksa orang untuk beralih pada ideologi komunisme, orang yang dipaksa untuk membunuh orang lain dengan ancaman atau tekanan.
ü  Dengan Perintah dan Larangan, artinya membatasi kebebasan melalui peraturan-peraturan yang wajib diikuti, entah bersifat positif atau negatif. Contoh paling besar dari perintah adalah kegiatan “brainwash” (cuci otak) yang dilakukan oleh Adolf Hitler agar seluruh rakyat Jerman mengakui bahwa ras-nya lebih unggul dan terhormat dari ras bangsa lain, memerintahkan untuk membunuh orang Yahudi, dan tidak memperbolehkan pemuda Jerman menikah dengan ras lain kecuali sesama Jerman.





PENDALAMAN MATERI (Buatlah Essay)
1.      Ceritakan menurut bahasamu sendiri, apa yang dimaksud kebebasan eksistensial dan kebebasan sosial!
2.      Dengan cara-cara apa saja kebebasan eksistensial dan kebebasan sosial dapat dibatasi! Jelaskan!

3.      Contoh kasus: Jessica berjanji pada Mirna bahwa dua hari lagi Ia akan mengajak Mirna untuk makan malam di Olivier Caffe. Ternyata dua hari kemudian, Jessica mengingkari janjinya. Apakah Jessica dapat dikatakan memiliki kebebasan eksistensial (jawaban YA atau TIDAK)? Jelaskan alasanmu menurut pendapatmu!

0 komentar:

Posting Komentar