KEBEBASAN DAN TANGGUNG JAWAB
A.
Apa Kebebasan Itu?
Sampai sini mungkin anda bingung,
sebab dari awal saya katakan bahwa etika dan moral adalah sesuatu yang memiliki
peraturan-peraturan baku. Mengapa kita bahas kebebasan? Hal ini karena
peraturan-peraturan baku akan menjadi masuk akal jika manusia punya kebebasan.
Saya berikan contoh: kemarin malam saya makan di warteg (warung tegal) depan
kampus, saat saya selesai makan saya bertanya pada pemilik warteg berapa jumlah
harga makanan yang saya makan dan harga seluruhnya adalah Rp. 20.000 termasuk
minuman. Saya sodorkan uang Rp. 50.000; dan si pemilik warteg memberikan saya
kembaliannya. Saya langsung ambil uang itu tanpa menghitung dulu jumlahnya
(karena buru-buru). Saat di jalan, saya menghitung bahwa si pemilik warteg
memberikan uang kembalian sejumlah Rp. 80.000; dan saya terkejut. Dari situ
saya berpikir, “Wah, rejeki nih, udah makan enak dikasih duit lagi sama pemilik
warteg”. Tapi tiba-tiba ada yang menegur saya dari dalam hati, “Janganlah kamu
begitu, jujurlah! Coba pikirkan pemilik warteg tadi yang mengalami kerugian,
dia bekerja dengan halal untuk mencukupi keluarganya! Tegakah kamu?”.
SEKARANG PERHATIKAN, secara sadar
saya bisa saja tidak menggubris (mengacuhkan) suara hati tadi, karena saya
bebas berbuat apa saja, “yang salah kan pemilik warteg, ya bodo amat deh!”.
Tapi secara moral, saya memiliki semacam “beban” yang membuat saya merasa wajib
kembali ke warung dan menyerahkan kelebihan uang kembalian tadi. Dari kebebasan
inilah ... akhirnya kita menyadari dan menjadi paham, disinilah kita punya
kewajiban moral, “Oh iya ya, saya kan anak Tuhan, masa saya tidak jujur!”.
Bayangkan! Dari kebebasan akhirnya muncul perilaku moral kita. Hal inilah yang
membedakan manusia dengan binatang. Hewan tidak tahu apa yang namanya kebebasan
dalam menentukan moral, karena mereka bergerak berdasarkan insting/naluri saja.
Singa betina yang kelaparan bahkan bisa memakan anaknya sendiri. Maka perilaku
hewan itu bisa ditebak, “Oh buaya itu lagi lapar, kalau saya lempar daging ayam
ini pasti akan disambarnya”, dan ternyata betul. Kebebasan manusia dinamakan “free-will” atau kehendak bebas
(berikutnya disingkat FW).
Manusia berpikir, berkehendak, dan
berperilaku tidak hanya mengandalkan insting atau naluri saja. Seorang pengemis
yang kelaparan setengah mati tidak berani merampok sebuah minimarket karena dia
tahu bahwa hal itu akan membuatnya ditangkap polisi dan masuk sel tahanan. Tapi
apakah si pengemis tadi bisa merampok minimarket? Bisa saja, kalau dia sudah
nekat tentu saja bisa, asalkan bisa makan dahulu, mau ditangkap atau dipukul
“yah bodo amat deh”, inilah yang dinamakan FW. Manusia bebas memilih dan
berbuat ini itu, menentukan mana yang baik bagi dirinya, memikirkan resiko dari
perbuatannya, dan mencanangkan masa depannya.
Kalau kita logika-kan, kebebasan
berarti orang lain tidak bisa memaksa atau melarang kita melakukan apa yang
kita mau, karena kita bebas, inilah logika dari kebebasan. Nah, apakah
pengertian itu betul sepenuhnya? Ternyata “TIDAK”. Lho kok bisa? Saya berikan
contoh demikian: anda punya flat apartemen
pribadi seluas 30 kali 20 meter. Lalu anda pasang lagu “Seize The Day” dari grup band Avenged Sevenfold dengan volume yang
keras sekali. Tetangga sebelah anda marah-marah dan mengatakan anda mengganggu
kenyamanan orang lain, anda balas berkata, “Lho, suka-suka saya dong, ini kan
apartemen saya!!”. Tiba-tiba satu jam kemudian anda digelandang ke kantor security dengan tuduhan mengganggu
ketertiban umum. Nah, apakah itu kebebasan bagi anda? Salahkah anda? Padahal
anda menyetel itu di flat anda
sendiri?
Filsuf terkenal dari Indonesia,
Prof. DR. Franz Magnis Soeseno, Ph. D membagi kebebasan menjadi dua yakni
“kebebasan sosial” dan “kebebasan eksistensial”. Kebebasan sosial adalah
kebebasan yang kita terima dari orang lain, sementara kebebasan eksistensial
adalah kemampuan kita untuk menentukan tindakan kita sendiri. Lho kok bisa?
Bukannya sama saja ya? Mari kita bahas kedua tipe kebebasan ini secara
mendalam:
1)
Kebebasan
Eksistensial
Artinya yaitu kemampuan manusia
untuk menentukan dirinya sendiri, maksudnya adalah kebebasan ini tidak
menekankan segi kebebasan “dari apa”, tapi kebebasan “untuk apa”. Kebebasan ini
diwujudkan dengan tindakan yang disengaja. Lho? Memang ada ya tindakan yang
tidak disengaja? Tentu saja ada. Kita bernafas, mengedipkan mata, dan mengalami
irama detak jantung adalah tindakan juga, namun yang tidak disengaja, berjalan
begitu saja. Lalu apa tindakan yang disengaja? Tindakan yang disengaja adalah
tindakan yang memiliki tujuan demi menghasilkan sesuatu yang ingin dicapai.
Contohnya begini: seekor anjing jika diberi sepotong daging sapi tidak akan
berpikir dahulu, langsung saja disambar dan dimakannya. Lain hal dengan
manusia, jika diberi sepotong daging sapi, manusia bisa memilih apakah daging
itu akan dimakan hari ini, atau besok, atau lusa. Walau kelaparan bagaimana-pun,
manusia bisa memilih apakah dia mau makan atau tidak. Terhadap naluri alaminya,
manusia masih dapat mengambil keputusan bebasnya.
2)
Kebebasan
Jasmani dan Rohani
Kebebasan jasmani adalah keputusan
manusia dalam menentukan apa yang mau dilakukannya secara fisik. Manusia dapat
menggerakkan anggota tubuhnya sesuai dengan kemauannya sendiri. Namun,
kebebasan ini tentu masih dalam kodratnya sebagai manusia biasa. Walaupun
manusia menggerakkan tangannya keatas dan kebawah dengan kecepatan tinggi,
manusia tetap tidak akan bisa terbang seperti burung di udara. Lalu apakah
kebebasan jasmani kita dapat ditaklukkan? Tentu saja “YA”. Yang dapat
menaklukan kebebasan jasmani kita adalah “paksaan” dari luar. Hal ini karena
tubuh kita terikat dengan hukum-hukum alam (tubuh terdiri dari daging, tulang,
dan kulit). Kebebasan jasmani kita dapat dikurangi atau dihilangkan dengan
kekuatan dari luar yang lebih besar. Kebebasan kita dicegah dengan kekuatan
yang tidak mungkin kita lawan atau memiliki kekuatan yang lebih besar. Sebagai
contoh: seorang pencuri tertangkap dan diborgol di pagar, sepintar-pintarnya
pencuri kabur, tentu dia tidak bisa kabur lagi karena tangannya sudah diborgol
kuat, borgol itu terbuat dari campuran besi dan baja sementara tangan si
pencuri hanya daging dan tulang saja. Mana bisa dilawan? Dengan tangan terbogol
itu maka si pencuri “dipaksa” untuk ikut ke kantor polisi. Nah, kebebasan
jasmaninya menjadi terkekang dan digantikan oleh “paksaan” terhadap sesuatu
yang tidak dia inginkan, mau tidak mau, suka tidak suka si pencuri akan ikut ke
kantor polisi.
Yang menjadi pertanyaan, darimana
munculnya kebebasan jasmani itu? Apakah ia muncul secara tiba-tiba? Secara
naluri dan insting saja? Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya bahwa manusia
itu berbeda dengan binatang karena manusia memiliki FW. Sumber utama dari
kebebasan jasmani adalah kebebasan rohani. Kebebasan rohani adalah kebebasan
kita dalam memikirkan segala sesuatu, menghendaki sesuatu, merencanakan
sesuatu, dan membuat peta konsep. Kebebasan rohani tak terbilang luasnya.
Seorang pencuri sebelum mencuri akan berpikir dahulu, rumah mana yang akan saya
curi, apa benda berharga yang bisa saya curi, apa yang akan saya lakukan untuk
masuk ke rumah tersebut dan kabur dengan aman. Maka dari itu, dalam setiap
gelar perkara kasus kriminal, terlebih dahulu akan dicari tahu apa motif si
tersangka melakukan kejahatan, barulah dapat dilihat delik pidananya dan
hukuman yang akan dijatuhkan. Seorang pencuri yang mencuri karena kelaparan
tentu berbeda dengan pencuri yang mencuri karena tergiur harta kekayaan. Sumber
dari kebebasan rohani adalah akal budi manusia. Jadi apabila dibuat skema
konsep hasilnya seperti demikian:
Apakah kebebasan rohani itu bisa
dilanggar oleh orang lain? secara langsung hal itu “TIDAK BISA”. Kenapa? Karena
pikiran kita adalah kerajaan kita, orang lain tidak mengetahui apa pikiran
kita, kita sendiri yang memikirkan sesuatu dalam otak kita. Kalaupun kita
dibujuk atau ditekan oleh orang lain untuk melakukan sesuatu ini dan itu, tetap
saja apa yang kita pikirkan tidak akan diketahui orang lain. Nah, disinilah
seringkali manusia menjadi “munafik” dan seolah memakai topeng, tujuannya
supaya orang lain senang pada kita padahal “lain di hati lain di mulut”.
Perlu diingat juga bahwa tidak semua
kemunafikan itu buruk, kadangkala kemunafikan itu juga dapat “menyelamatkan”
orang tersebut. Kok bisa gitu? Contohnya: saat raja Henry Tudor dari Inggris
memaklumkan agama Kristen Anglikan sebagai agama resmi kerajaan, seluruh rakyat
Inggris (yang beragama Katolik Roma, Yahudi, dan Islam) berbondong-bondong
masuk agama Kristen Anglikan. Apabila ada warga yang tidak menganut agama itu
maka akan dihukum mati. Pertanyaannya, apakah mereka semua (rakyat Inggris) dengan
rela hati masuk agama yang dianut raja? Tentu saja tidak! Mereka semua menjadi
“munafik” secara “massal” karena takut akan ancaman hukuman mati. Apakah dapat
dikatakan orang Inggris saat itu “munafik” semuanya? Tentu tidak, karena ini
menyangkut nyawa. Sama halnya ketika kita dipaksa untuk mencintai orang yang
tidak kita sukai, terlebih cerita tentang pernikahan yang dijodohkan (tidak
didasarkan atas rasa cinta). Baik mempelai pria maupun wanita menyanggupi hal
itu sebagai rasa takut dan hormat kepada orangtua, sehingga menjadikan diri mereka
“munafik”. Inilah yang akhirnya mendorong “etika” lahir ditengah-tengah “moral”
yang keliru.
Ada juga cara untuk menghilangkan
atau bahkan melenyapkan kebebasan rohaniah manusia dengan cara buatan, yakni
dengan narkoba atau obat bius. Orang yang sudah “sakau” dan “fly” tentu tidak akan dapat berpikir
dengan jernih, apakah satu ditambah satu sama dengan dua, atau apakah
ditempeleng itu rasanya sakit atau tidak. Cara lainnya adalah dengan
mengintimidasi orang lain, menyerang kejiwaan dan emosionalnya. Seorang tahanan
Yahudi pada kamp konsentrasi Waffen-SS NAZI di Dachau yang berhasil selamat
umumnya menjadi orang yang depresi dan mengalami gangguan kejiwaan, hal ini
karena mereka telah mendapatkan siksaan baik secara fisik maupun psikis. Ada
juga pengaruh hipnotis, yang membuat manusia menjadi hilang kesadaran dan
menjadi “binatang sirkus” yang seolah-olah menurut saja pada perkataan/sugesti yang
menghipnotisnya.
Ada hubungan yang sangat erat antara
kebebasan jasmani dan kebebasan rohani. Tindakan yang kita lakukan adalah bentuk
perwujudan dari kehendak kita, bentuk nyata dari “apa sih yang kita
pikirkan”. Saya mau tangan saya bergerak, maka tangan anda akan bergerak. Tentu
saja kebebasan rohani kita tidak akan dapat diwujudkan kalau kebebasan rohani
kita terkekang. Saya mau tangan saya bergerak bebas, tetapi tangan saya terikat
di tiang, apakah saya bisa menggerakkannya? Tentu saja tidak, sebab tangan anda
dalam posisi terikat. Sekuat apapun anda menyuruh tangan anda untuk bergerak,
selama tangan anda masih terikat tentu tidak akan pernah bergerak.
Kehendak sendiri dibedakan
menjadi 2 yakni “keinginan” dan “kemauan”. Lho kok beda? Bukannya sama aja
tuh?”, Maka dari itu disini akan kita bahas, apakah keinginan dan kehendak itu
sama saja? Mula-mula kita bahas dahulu apa itu keinginan. Keinginan adalah
khayalan, imajinasi, impian, lamunan, berandai-andai. Contoh dari keinginan
adalah: “Saya ingin kaya, ingin sukses, ingin punya mobil, ingin ini dan itu”.
Keinginan itu ibarat “raja” dalam otak kita, membius kita, membuat kita
melambung tinggi seolah kita sudah menjadi seperti apa yang kita inginkan
tersebut. Walau begitu, itu masih “keinginan” saja, belum tentu juga akan saya
wujudkan atau saya lakukan, tidak wajib saya kerjakan, karena itu hanya
khayalan saja. Nah, disinilah perbedaan yang lebar antara keinginan dan kemauan
baru akan terkuak. Kemauan adalah “Jembatan” penghubung dari keinginan.
Jika demikian, dalam kemauan, kalimatnya akan berubah dari yang semula “Saya
ingin kaya” menjadi “Jika saya ingin kaya, maka saya harus bekerja keras”.
Dengan demikian hal ini menjadi suatu kewajiban bagi saya untuk bekerja keras
apabila ingin menjadi orang kaya, kewajiban ini adalah beban yang harus saya
pikul.
3)
Makna
Kebebasan Eksistensial
Makna adalah arti dari segala seuatu
yang kita lakukan, apakah tindakan kita memiliki maksud-maksud dan arti-arti
tertentu, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. makna paling mendalam
dari kebebasan adalah perasaan bahwa kita bisa melakukan apapun sesuai dengan
kehendak kita sendiri. Jika demikian, maka kebebasan eksistensial adalah
kebebasan yang otonom (mandiri, tidak ada paksaan, sukarela). Walau begitu, di
tiap-tiap negara atau suku memiliki makna kebebasan yang beragam. Di negara
Amerika Serikat yang menganut Liberalisme (kebebasan individu), tidak sama
dengan negara Indonesia yang menganut Sosialisme (kebebasan yang menguntungkan
dan tidak merugikan). Di Amerika, kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual, &
trans-gender) bebas melakukan aktivitas seksual mereka, sementara di Indonesia
menjadi hal yang sangat dilarang keras.
B. Kebebasan Sosial
Sudah kita bahas sebelumnya mengenai
kebebasan eksistensial, yaitu kebebasan manusia untuk menentukan dirinya
sendiri, mau apa dan mau jadi apa. Tapi seringkali
manusia tidak sadar akan kebebasannya, bahkan manusia tidak sadar bahwa
mereka pernah atau masih memiliki kebebasan itu. Lho kok bisa? Gimana tuh
maksudnya? Sebagai contoh: Onel tenggelam saat berenang, dan dia tidak bisa
berenang. Kepalanya terendam di air dan Onel tidak bisa bernafas, tak lama ada
orang yang menolongnya keluar dari kolam. Sesampai di permukaan air, Onel
sangat lega karena bisa menghirup udara lagi. Dari situ Onel mulai berpikir,
“Oh iya ya, jadi selama ini saya nggak sadar lho kalau saya tuh bebas untuk
menghirup udara segar, gara-gara saya tenggelam aja makanya nggak bisa
menghirup udara”. Manusia menjadi sadar akan kebebasannya “BARU” setelah ada
sesuatu yang membatasinya, seperti contoh Onel, air membatasi dirinya dan udara
yang selama ini bebas Ia hirup. Contoh lain: selama bertahun-tahun anak RW 004
bermain sepakbola di sebuah tanah lapang yang kosong, tiba-tiba ada sebuah
plang yang bertuliskan; “DILARANG MASUK WILAYAH INI, TANAH INI MILIK HAJI
MABRUR”. Lapangan tersebut sudah dikelilingi pagar-pagar berduri sehingga
jangankan manusia, kucing pun tidak akan bisa masuk/melewatinya. Mendadak warga
RW 004 baru sadar bahwa selama ini mereka bebas memakai lapangan itu, dan
akhirnya kebebasan itu dihapus oleh pemilik tanah lapang tadi. Jadi, selama
warga RW 004 bermain bola, saat itulah mereka sedang merasakan/melakukan
kebebasan, namun mereka tidak pernah sadar, baru sadar setelah dilarang.
C. Lebih Rinci
Sudah dibahas sebelumnya bahwa
pembatasan dari kebebasan merupakan hal yang tidak dapat dilawan. Namun hal itu
berlaku hanya apabila pembatasan itu dibuat-buat (seperti contoh pencuri yang
diborgol). Tidak semua pembatas-pembatas untuk bertindak dapat kita rasakan
sebagai pembatas kebebasan, ada kalanya hal ini dipengaruhi oleh faktor
alamiah, pembatasan karena faktor alamiah ini tidak bisa disebut sebagai
pembatas kebebasan. Maksudnya apa ya? Kok saya jadi bingung? – nah, mari kita
bahas pelan-pelan.
Contoh: rumah anda di Salemba dan
hendak pergi bekerja di daerah Glodok, tapi ternyata pada hari itu di Salemba
sedang terendam banjir bandang setinggi 2 meter. Anda melihat orang-orang tidak
bisa bekerja dan pergi ke pengungsian. Nah, disini anda mengalami “pembatasan”
dari aktivitas karena banjir tersebut; mau kerja tidak bisa, mau cari makan
tidak bisa; dan hal ini mengganggu pikiran anda. Apakah karena banjir ini maka
anda benar-benar mendapatkan “pembatasan” dari “kebebasan” anda? Tentu tidak.
Memang betul bahwa banjir mengakibatkan pembatasan dari aktivitas rutin anda,
namun anda tetap “bebas” melakukan segala sesuatu di tengah-tengah banjir itu.
Nah, maka ketemu jawabannya, pembatas untuk bertindak (banjir) tidak
mempengaruhi kebebasan (mau ngapain saja ditengah-tengah banjir itu), banjir
tidak membuat kebebasan kita hilang walaupun aktivitas tersendat. Contoh lain:
Tata berkunjung ke perpustakaan, dan kebetulan saat itu perpustakaan sedang
sepi. penjaga perpustakaan mengira bahwa tidak ada orang lagi dalam
perpustakaan, maka perpustakaan dikunci. Tata yang masih ada di dalam
perpustakaan terpaksa menginap di perpustakaan seorang diri. Tentu saja Tata
merasa marah dan jengkel karena tragedi itu, namun Tata tidak akan merasa
terhina karena kebebasannya dibatasi atau dirampas oleh penjaga perpustakaan
karena penjaga perpustakaan melakukan hal itu tidak disengaja dan sifatnya
insidensial. Lain halnya kalau disengaja, baru kita merasa kebebasan kita
dirampas atau dibatasi.
Lalu siapa yang bisa merampas
kebebasan kita? Tentu saja orang lain. terlepas dari faktor sengaja atau tidak
sengaja, orang lain adalah faktor terbesar dalam merampas kebebasan kita.
Mengapa hal ini bisa terjadi? sejatinya karena sifat “hukum rimba” masih ada
dalam diri tiap manusia, yang kuat menindas yang lemah, ingin menunjukkan
superioritas (kelebihan) untuk menutupi inferioritas (kekurangan) yang
merupakan teori dari Alfred Adler, keinginan-keinginan untuk berkuasa atas
orang lain (gila jabatan dan kekuasaan). Berhadapan dengan semuanya itu, maka
kita berusaha untuk tidak berada di bawah paksaan atau intimidasi dari orang
lain tersebut, dan hal inilah yang dinamakan dengan “Kebebasan Sosial”.
Singkatnya, kebebasan sosial adalah suatu keadaan dimana kemungkinan kita untuk
bertindak tidak dibatasi dengan sengaja oleh orang lain. Lalu bagaimana cara
orang lain membatasi kebebasan kita? Prof. DR. Franz Magnis Soeseno, Ph. D
membagi dalam 3 tipe mengenai cara manusia membatasi kebebasan manusia yang
lainnya, yakni:
ü Dengan
Paksaan Fisik, artinya orang dapat memakai kekuatan fisik untuk membatasi
kebebasan dan membuat kita menjadi tak berdaya, contohnya kasus kekerasan dan
pemerkosaan, penjambretan, dan begal motor.
ü Dengan
Paksaan Psikis, artinya manusia dibuat agar tidak bisa berpikir, mengarahkan
kehendak orang lainnya, menguasai pikiran orang lain. hal ini sesungguhnya jauh
lebih jahat daripada paksaan fisik. Contoh misalnya: memaksa orang untuk
beralih pada ideologi komunisme, orang yang dipaksa untuk membunuh orang lain
dengan ancaman atau tekanan.
ü Dengan
Perintah dan Larangan, artinya membatasi kebebasan melalui peraturan-peraturan
yang wajib diikuti, entah bersifat positif atau negatif. Contoh paling besar
dari perintah adalah kegiatan “brainwash”
(cuci otak) yang dilakukan oleh Adolf Hitler agar seluruh rakyat Jerman
mengakui bahwa ras-nya lebih unggul dan terhormat dari ras bangsa lain,
memerintahkan untuk membunuh orang Yahudi, dan tidak memperbolehkan pemuda
Jerman menikah dengan ras lain kecuali sesama Jerman.
PENDALAMAN MATERI
(Buatlah Essay)
1. Ceritakan
menurut bahasamu sendiri, apa yang dimaksud kebebasan eksistensial dan
kebebasan sosial!
2. Dengan
cara-cara apa saja kebebasan eksistensial dan kebebasan sosial dapat dibatasi!
Jelaskan!
3. Contoh
kasus: Jessica berjanji pada Mirna bahwa dua hari lagi Ia akan mengajak Mirna
untuk makan malam di Olivier Caffe. Ternyata dua hari kemudian, Jessica
mengingkari janjinya. Apakah Jessica dapat dikatakan memiliki kebebasan
eksistensial (jawaban YA atau TIDAK)? Jelaskan alasanmu menurut pendapatmu!
0 komentar:
Posting Komentar