ETIKA MENCARI ORIENTASI
A. Apa Itu Orientasi?
Contoh: Moli baru pertama kali ke Jakarta, tiba di
stasiun kereta api Senen. Tujuan Moli ingin ke Rawamangun di Jakarta Timur. Moli
berusaha mencari angkutan yang dapat membawanya ke Rawamangun, sebab jika tidak
maka Ia akan tersasar atau tersesat. Tentunya Moli akan mencari deretan bis
yang akan menuju ke Rawamangun, dan bukannya ke Lebakbulus.
Dari contoh tadi dapat diketahui
bahwa salah satu kebutuhan manusia adalah orientasi. Maksudnya orientasi adalah
kita harus tahu dimana kita berada dan kearah mana kita akan bergerak,
tergantung apa tujuan kita. Tanpa orientasi kita akan tersesat dan “tidak
tahu arah”. Jika demikian maka kita akan merasa terancam dengan sesuatu-sesuatu
yang asing atau yang tidak kita kenal. Etika sama seperti contoh orientasi,
bedanya pada contoh tadi adalah mencari arah jalan. Etika yang menjadi
orientasi disini adalah pertanyaan kepada diri sendiri, “Bagaimana saya ini
hidup dan melakukan sesuatu di dunia ini?”. Ada banyak versi-versi jawaban,
misalnya: dari orangtua, dari adat istiadat, dari lingkungan pergaulan, dari
ajaran agama, dan lain sebagainya. Hal ini sangat penting untuk dijawab, agar
kita tidak hidup di dunia ini hanya sekedar “ikut-ikutan”, namun kita menjadi
“diri kita sendiri”. Intinya adalah, kita melakukan apa yang bagi kita baik,
namun kita juga mampu untuk bertanggungjawab terhadap apa yang kita anggap baik
itu tadi.
B. Etika Dan Ajaran Moral, Sama
Atau Beda?
Etika dan ajaran moral itu berbeda.
Kalau ajaran moral itu adalah nasihat-nasihat, khotbah, patokan, kumpulan
peraturan dan ketetapan, baik secara lisan atau tertulis. Biasanya isinya
mengajarkan manusia untuk hidup baik dalam setiap perkataan dan perbuatan. Nah,
ajaran moral itu datang karena ada “seseorang” atau “oknum” yang membuat serta
menyebarkan ajaran itu, misalnya moral dan adat Jawa dibuat oleh raja-raja
dan sultan-sultan Jawa dari jaman dahulu. Dari segi agama misalnya dalam Islam
ajaran moral dibawa oleh nabi Muhammad SAW, ajaran Kristen dibawa oleh Yesus
Kristus atau Yeshua, ajaran Buddha dibawa oleh sang pangeran Buddha Gotama, dan
sebagainya.
Nah, apa bedanya dengan etika? Etika
justru mencari jawaban terhadap hal-hal yang “melenceng” pada ajaran moral tadi.
Etika adalah ilmu pengetahuan yang ilmiah, dan bukannya suatu ajaran. Selama
ini, yang mengajarkan kita tentang bagaimana kita harus hidup di masyarakat
bukanlah etika, tapi justru ajaran moral yang kita terima dari kecil. Disini,
etika berusaha menggali, “kenapa sih kok saya mengikuti ajaran moral selama
ini?”. Contohnya: dalam ajaran moral Jawa dikenal sistem feodalisme atau
bangsawan, kaum rakyat jelata wajib tunduk pada kaum bangsawan (aristokrat).
Nah, etika disini ingin bertanya, “Kenapa kok kita harus hormat sama bangsawan?
Kita kan sama-sama makan nasi, sama-sama manusia?”. Contoh sederhananya, ibarat
ajaran moral adalah cara kita memakai sepeda motor agar terawat baik, sedangkan
etika adalah bagaimana kita mengerti tentang struktur dan teknologi dari
mekanik sepeda motor itu.
C. Apa Gunanya Etika?
Ini muncul pertanyaan, “Toh, apa
guannya kita punya etika, yang penting kan punya moral sudah cukup!”. Ini perlu
dibedakan, orang yang bermoral belum tentu punya etika, tetapi orang yang
beretika sudah pasti memiliki moral. Tadi kita sudah bahas jika etika
bertujuan sebagai orientasi. Orientasi berarti adalah kita ini darimana, ada di
mana, dan tujuannya mau kemana. Jika kita lihat sekarang ini sangat krisis
etika, ada 4 hal yang membuat dunia sekarang krisis etika:
1) Kita
hidup dalam masyarakat yang pluralistis, berbeda suku, agama, ideologi, dan
sebagainya. Otomatis kita akan mendapatkan banyak sekali pendapat-pendapat atau
pandangan moral dari banyak orang, dan setiap orang mengklaim atau
mengatakan bahwa pendapatnya itu benar. Misalnya, orang Sunda bilang kalau
“atos” itu artinya “sudah”, sementara orang Jawa bilang “atos” itu “keras”.
Kedua ini saling berdebat dengan mengatakan bahwa bahasanya yang benar dan yang
lainnya meniru-niru saja. Agama Islam mengatakan bahwa Yesus hanyalah nabi
saja, sementara agama Kristen mengatakan Yesus adalah Tuhan yang turun ke bumi
untuk menebus dosa-dosa manusia, yang satu mengatakan agama lain salah dan yang
lainnya mengatakan agama lain tukang jiplak. Hal ini berputar-putar, hingga
kita pun bingung, “Mana sih yang harus saya ikuti? Budaya mana? Agama apa?
Ideologi apa?”.
2) Kita
hidup dalam perkembangan globalisasi yang dinamakan “modernisasi”. Dahulu tidak
ada alat canggih macam Smartphone, Tab,
Android, Laptop, dan sebagainya. Sekarang sangat berbeda, bahkan di penjuru
pelosok-pelosok desa ataupun pulau terpencil pun sudah memiliki barang canggih.
Otomatis persaingan untuk menjadi orang yang “up to date” bermunculan, dimulai dengan gadget baru, baju baru (fashion), kendaraan baru, memiliki
pasangan hidup yang mapan, dll. Nah, hal-hal ini membuat manusia jadi
semakin serakah, konsumerisme, individualisme, utilitarisme, materialisme,
sekularisme, pluralisme, dan sebagainya. Yang mana semuanya itu mengubah
total kebudayaan setempat, baik secara tradisi maupun agama.
3) Bahaya
yang paling parah adalah, akan bermunculan orang-orang yang mulai menawarkan
“jalan pintas” menuju kebahagiaan dan kemakmuran hidup. Mereka ini
(oknum-oknum) menawarkan ideologi mereka sebagai ideologi yang membebaskan umat
manusia dari penderitaan, mengaku-ngaku sebagai mesias (juruselamat) dan
membuat orang lain tertarik untuk mengikutinya. Etika membantu kita agar
tidak mudah terpancing. Etika membuat kita berpikir logis dan objektif untuk
membentuk penilaian kita sendiri. Maksudnya, kita jangan cepat-cepat
percaya dengan segala pandangan yang baru, namun jangan juga menolak
nilai-nilai pandangan baru yang bersifat positif.
4) Etika
sangat diperlukan bagi setiap orang yang beragama (percaya pada Tuhan),
terlepas dari apa itu agamanya. Etika membantu mereka untuk menemukan dasar
agama yang benar dan secara mantap melakukan ajaran agama dalam iman mereka.
Mereka diajarkan untuk menerima keseluruhan agama namun juga menerima perubahan
yang terjadi di masyarakat. Ada banyak kaum yang mengaku beragama namun
tingkah lakunya jauh dari ajaran agamanya (misalnya kekerasan mengatasnamakan
agama).
D. Bagaimana Hubungan Antara Etika
dan Agama?
Etika tidak bisa menjadi pengganti
dari agama, namun etika dan agama saling hidup berdampingan. Kenapa
etika juga diperlukan dalam agama? Sebab etika adalah usaha manusia untuk
memakai akal budi dan daya pikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana Ia harus
hidup jika Ia akan berbuat baik. Dalam agama dikatakan bahwa akal budi adalah
ciptaan Tuhan dan diberikan pada manusia agar dapat digunakan dalam semua
dimensi kehidupan. Jangan sampai akal budi dikesampingkan dan ajaran-ajaran
agama menjadi sesuatu hal yang mutlak untuk diikuti. Hal ini berbahaya karena
dapat menyebabkan fanatisme sempit dari agama. Itu sebabnya mengapa kaum
beragama harus memakai etika dalam kehidupan sehari-hari.
E. Lalu Bagaimana Metode Etika?
Metode etika memakai pendekatan
“berpikir kritis”, maksudnya adalah berpikir “kenapa sih kok begini? Kenapa kok
begitu? Apa yang menyebabkan hal itu bisa terjadi?”. Disini kita dituntut untuk
mengamati realita moral yang banyak terjadi secara kritis, caranya adalah
dengan mengamati kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma (aturan), dan
pandangan moral. Ibarat kata, otak kita di-netral-kan dahulu dari
pendapat-pendapat yang selama ini banyak kita terima dari orang lain.
F. Apa Sih Sebenarnya Moral Itu?
Moral sederhananya adalah pandangan
manusia terhadap manusia lainnya, dilihat dari berbagai macam segi. Contoh:
Jason bilang pak Rudi adalah guru yang pelit nilai, tapi pak Rudi orangnya jujur
dan asyik buat diajak ngobrol/curhat.
Penilaian pertama Jason ke pak Rudi bukan bersifat moral, penilaian kedua
barulah bersifat moral. Hal yang sebaliknya misalnya Jason bilang pak Joni
tidak pelit nilai, namun pak Joni “mata duitan” dan “minta ditraktir mulu”.
Penilaian pertama lebih kepada segi profesionalisme kedua bapak guru, sedangkan
penilaian kedua dilihat dari segi sifat dan kepribadian. Nah, sesuatu penilaian
moral itu dilihat dari sifat-sifat kemanusiaannya atau perasaan-perasaan yang
muncul. Moral itu adalah “baik-buruk” nya seorang manusia dalam menjalani hidup
sebagai manusia tergantung pada siapa yang melihat. Jadi, bukan melihat dari
profesionalismenya saja, misalnya jago masak, jago matematika, jago musik, dll.
Moral dilihat dari segi “kebaikan manusia”. Nah, yang mengatur moral itu
disebut dengan norma-norma. Jika digabungkan maka menjadi Norma Moral.
Ada norma yang berbeda-beda,
tergantung dalam bidang atau situasi khusus. Contohnya begini: memegang bola
adalah hal yang biasa-biasa saja dan tidak melanggar norma masyarakat, namun
akan berbeda apabila kita berada dalam pertandingan sepakbola selama 2 X 45 menit
di lapangan, memegang bola (yang semula adalah hal biasa saja) menjadi hal yang
haram dilakukan dan dilarang keras, setiap pemain berusaha agar tangannya tidak
menyentuh bola (kecuali kiper). Apabila pertandingan selesai, maka kita bisa
memegang bola (kembali ke kehidupan biasanya). Hal ini berlaku juga untuk
aturan agama bagi para pemeluknya masing-masing. Atau peraturan di sekolah,
hanya kita patuhi saat kita berada di sekolah, saat diluar sekolah maka
peraturan-peraturan itu “lepas: dari tanggungjawab kita. Nah, norma ini
sifatnya KHUSUS atau EKSKLUSIF, karena hanya berlaku pada situasi dan kondisi
tertentu saja. Lalu bagaimana dengan norma yang umum? Norma moral umum dibagi
lagi menjadi tiga yakni: (1) norma sopan santun, (2) norma hukum, (3) dan norma
moral. Kita akan kupas satu-satu dari ketiga jenis norma tadi:
1) Norma Sopan Santun
Norma ini menyangkut sikap lahiriah
atau “yang kelihatan dan yang nampak”. Nah, norma sopan santun ini dapat
mengungkapkan isi hati, namun tidak bersifat “moral”. Maksudnya begini:
Joko orang Jawa dan Tigor orang Batak, saat ke rumah Joko, si Tigor langsung
minta makan kepada mamanya Joko karena lapar. Joko mengatakan pada Tigor bahwa
hal itu tidak sopan karena harusnya Tigor menunggu tuan rumah menawarkan makan
dahulu. Nah, bagi Tigor hal itu biasa saja karena bagi orang Batak kalau
malu-malu dan menganggap asing rumah yang dikunjungi, malah akan ditegur oleh
tuan rumah. Coba kita lihat, ungkapan langsung si Tigor merupakan “isi hati”
nya yang paling jujur (karena memang Tigor lapar sekali), namun bagi Joko hal
ini tidak bersifat “moral” karena tidak sesuai dengan kebiasaan orang Jawa pada
umumnya. Singkatnya, moral bagi Tigor berbeda dengan moral bagi Joko. Apakah
dikatakan bahwa Tigor melanggar norma kesopanan? Jelas saja “YA”, karena Tigor
tidak tahu adat istiadat Joko. Ada juga orang yang melanggar norma kesopanan
karena dituntut oleh situasi. Misalnya demikian: Doni di dalam sebuah bis
bersama dengan seorang wanita. Tanpa diketahui Doni, si wanita ini ternyata adalah
penderita gangguan Epilepsi, tiba-tiba mengalami serangan Epilepsi. Doni yang
merupakan anggota PMR tahu jelas bahwa seorang penderita Epilepsi apabila
serangan harus mendapatkan asupan oksigen lebih banyak, dan otomatis Doni harus
melonggarkan pakaian serta celana si wanita tadi. Apakah Doni melanggar norma
sopan santun? Bisa dikatakan “YA”. Tetapi bila dilihat dari segi etika, hal ini
sangat dibenarkan, karena jika dibiarkan dengan pakaian yang ketat itu, si
wanita akan kekurangan oksigen dan dapat mengakibatkan kematian.
2) Norma Hukum
Norma hukum adalah peraturan yang
bersifat wajib atau dipaksakan dengan tegas oleh masyarakat karena dianggap
perlu dan urgen demi keselamatan,
keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan umum/bersama. Karena bersifat wajib,
maka tidak boleh dilanggar. Setiap pelanggaran pasti akan berbuah
hukuman/sanksi/denda. Norma hukum bersifat mutlak, namun tidak permanen; dapat
berubah-ubah sesuai situasi dan kondisi; serta memiliki landasan yuridis (hitam
diatas putih) yang sah.
Namun, apakah orang yang melanggar
norma hukum otomatis melanggar etika? Tentu saja jawabannya bisa “YA” dan bisa
pula “TIDAK”. Ada kasus dimana demi memenuhi tuntutan suara hati, orang rela
untuk melanggar norma hukum. Suara hati sendiri dibedakan menjadi 2 yakni
positif dan negatif. Suara hati yang positif misalnya seperti kisah Robin Hood (Sherwood Forest) pada masa pemerintahan
raja Richard The Lion Heart di
Britania, dimana Ia mencuri rumah-rumah orang kaya (bangsawan) yang serakah dan
memeras rakyat kecil lalu membagikan hasil curian kepada orang miskin. Apakah
Robin Hood melanggar hukum? Tentu saja “YA”. Sedangkan suara hati yang negatif
adalah kasus terorisme yang mengatasnamakan agama, dimana Ia yakin bahwa perbuatannya
akan mendapat jaminan Surga. Apakah teroris melanggar hukum? Tentu saja “YA”. Lalu
apakah dengan menghukum orang-orang ini maka akan menjadikan mereka dari
manusia dengan perilaku buruk menjadi baik? tentu saja tidak. Kenapa? Sebab hukuman
“hanya” bertujuan untuk membuat pelakunya jera/kapok dan menjamin
ketertiban umum. Masalah apakah dia menjadi baik atau tetap jahat, itu urusan
belakangan, yang penting orang tersebut menjalani hukuman dan orang lain
melihatnya.
3) Norma Moral
Norma moral adalah tolok ukur,
seperti alat pengukur berat badan, contoh: kita punya beras sekarung tapi tak
tahu beratnya berapa, setelah ditaruh timbangan pengukur maka kita bisa
katakan, “Oh, ternyata beras sekarung ini bobotnya 25 kilogram”. Nah, sama
seperti contoh ini, kita bisa tahu, “Oh, orang ini ternyata baik sekali ya”
atau “Ini orang nggak tahu diri banget ya! Nggak ada tata kramanya”. Darimana
kita tahu? Dari norma moral yang mengatur masyarakat dimana kita tinggal. Siapa
yang membentuk norma moral ini? Ya masyarakat yang ada di situ. Dengan
moral, kita benar-benar dinilai oleh orang lain. yang dilihat dari diri kita
bukan hanya satu segi saja, tapi banyak sekali, misalnya: kejujuran, disiplin,
tanggungjawab, pemaaf, dll. Belum lagi hal-hal itu harus sejalan dengan
perbuatan kita (berintegritas). Nah, permasalah moral ini sebenarnya merupakan
masalah yang sulit sekali dicari kesamaannya, terlebih di negara kita yang
memiliki beraneka ragam suku, bahasa, dialek, budaya, agama, dan ideologi.
Contohnya demikian: Riko berwisata ke Merauke di Papua. Disana Riko melihat,
baik kaum muda maupun tua memakai Koteka saja dengan menggendong Noken diatas
kepala. Riko mengatakan dalam hatinya, “Aduh, mereka ini kok nggak sopan ya?
Apakah mereka tidak malu dengan mempertunjukkan alat kelaminnya pada orang
banyak?”. Sementara orang Merauke tadi juga berkata dalam hatinya, “Aduh pace
... ko pakai baju berlapis-lapis tidak panas kooo ... seperti mau pergi pesta
saja, kurang tebal tu”. Coba kita lihat, moralnya si Riko beda dengan moralnya
si orang Merauke tadi. Hal yang sama berlaku pada bahasa, dialek, agama, dan
ideologi.
PENDALAMAN MATERI
(Buatlah Essay)
Coba
cari contoh-contoh dari ajaran moralitas tradisional dari daerah kalian
masing-masing. Lalu berikan penilaian kalian sendiri terhadap ajaran moralitas
tersebut, yaitu kelebihan dan kekurangannya.
Etika bagian dari kesadaran untuk menempuh pendidikan
BalasHapus