Search

Senin, 28 November 2016

BAGIAN 1 ETIKA. Oleh Prof. DR. Franz Magniz Soeseno, SJ.

ETIKA MENCARI ORIENTASI


A. Apa Itu Orientasi?
Contoh: Moli baru pertama kali ke Jakarta, tiba di stasiun kereta api Senen. Tujuan Moli ingin ke Rawamangun di Jakarta Timur. Moli berusaha mencari angkutan yang dapat membawanya ke Rawamangun, sebab jika tidak maka Ia akan tersasar atau tersesat. Tentunya Moli akan mencari deretan bis yang akan menuju ke Rawamangun, dan bukannya ke Lebakbulus.
            Dari contoh tadi dapat diketahui bahwa salah satu kebutuhan manusia adalah orientasi. Maksudnya orientasi adalah kita harus tahu dimana kita berada dan kearah mana kita akan bergerak, tergantung apa tujuan kita. Tanpa orientasi kita akan tersesat dan “tidak tahu arah”. Jika demikian maka kita akan merasa terancam dengan sesuatu-sesuatu yang asing atau yang tidak kita kenal. Etika sama seperti contoh orientasi, bedanya pada contoh tadi adalah mencari arah jalan. Etika yang menjadi orientasi disini adalah pertanyaan kepada diri sendiri, “Bagaimana saya ini hidup dan melakukan sesuatu di dunia ini?”. Ada banyak versi-versi jawaban, misalnya: dari orangtua, dari adat istiadat, dari lingkungan pergaulan, dari ajaran agama, dan lain sebagainya. Hal ini sangat penting untuk dijawab, agar kita tidak hidup di dunia ini hanya sekedar “ikut-ikutan”, namun kita menjadi “diri kita sendiri”. Intinya adalah, kita melakukan apa yang bagi kita baik, namun kita juga mampu untuk bertanggungjawab terhadap apa yang kita anggap baik itu tadi.

B. Etika Dan Ajaran Moral, Sama Atau Beda?
            Etika dan ajaran moral itu berbeda. Kalau ajaran moral itu adalah nasihat-nasihat, khotbah, patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan, baik secara lisan atau tertulis. Biasanya isinya mengajarkan manusia untuk hidup baik dalam setiap perkataan dan perbuatan. Nah, ajaran moral itu datang karena ada “seseorang” atau “oknum” yang membuat serta menyebarkan ajaran itu, misalnya moral dan adat Jawa dibuat oleh raja-raja dan sultan-sultan Jawa dari jaman dahulu. Dari segi agama misalnya dalam Islam ajaran moral dibawa oleh nabi Muhammad SAW, ajaran Kristen dibawa oleh Yesus Kristus atau Yeshua, ajaran Buddha dibawa oleh sang pangeran Buddha Gotama, dan sebagainya.
            Nah, apa bedanya dengan etika? Etika justru mencari jawaban terhadap hal-hal yang “melenceng” pada ajaran moral tadi. Etika adalah ilmu pengetahuan yang ilmiah, dan bukannya suatu ajaran. Selama ini, yang mengajarkan kita tentang bagaimana kita harus hidup di masyarakat bukanlah etika, tapi justru ajaran moral yang kita terima dari kecil. Disini, etika berusaha menggali, “kenapa sih kok saya mengikuti ajaran moral selama ini?”. Contohnya: dalam ajaran moral Jawa dikenal sistem feodalisme atau bangsawan, kaum rakyat jelata wajib tunduk pada kaum bangsawan (aristokrat). Nah, etika disini ingin bertanya, “Kenapa kok kita harus hormat sama bangsawan? Kita kan sama-sama makan nasi, sama-sama manusia?”. Contoh sederhananya, ibarat ajaran moral adalah cara kita memakai sepeda motor agar terawat baik, sedangkan etika adalah bagaimana kita mengerti tentang struktur dan teknologi dari mekanik sepeda motor itu.

C. Apa Gunanya Etika?
            Ini muncul pertanyaan, “Toh, apa guannya kita punya etika, yang penting kan punya moral sudah cukup!”. Ini perlu dibedakan, orang yang bermoral belum tentu punya etika, tetapi orang yang beretika sudah pasti memiliki moral. Tadi kita sudah bahas jika etika bertujuan sebagai orientasi. Orientasi berarti adalah kita ini darimana, ada di mana, dan tujuannya mau kemana. Jika kita lihat sekarang ini sangat krisis etika, ada 4 hal yang membuat dunia sekarang krisis etika:
1)      Kita hidup dalam masyarakat yang pluralistis, berbeda suku, agama, ideologi, dan sebagainya. Otomatis kita akan mendapatkan banyak sekali pendapat-pendapat atau pandangan moral dari banyak orang, dan setiap orang mengklaim atau mengatakan bahwa pendapatnya itu benar. Misalnya, orang Sunda bilang kalau “atos” itu artinya “sudah”, sementara orang Jawa bilang “atos” itu “keras”. Kedua ini saling berdebat dengan mengatakan bahwa bahasanya yang benar dan yang lainnya meniru-niru saja. Agama Islam mengatakan bahwa Yesus hanyalah nabi saja, sementara agama Kristen mengatakan Yesus adalah Tuhan yang turun ke bumi untuk menebus dosa-dosa manusia, yang satu mengatakan agama lain salah dan yang lainnya mengatakan agama lain tukang jiplak. Hal ini berputar-putar, hingga kita pun bingung, “Mana sih yang harus saya ikuti? Budaya mana? Agama apa? Ideologi apa?”.
2)      Kita hidup dalam perkembangan globalisasi yang dinamakan “modernisasi”. Dahulu tidak ada alat canggih macam Smartphone, Tab, Android, Laptop, dan sebagainya. Sekarang sangat berbeda, bahkan di penjuru pelosok-pelosok desa ataupun pulau terpencil pun sudah memiliki barang canggih. Otomatis persaingan untuk menjadi orang yang “up to date” bermunculan, dimulai dengan gadget baru, baju baru (fashion), kendaraan baru, memiliki pasangan hidup yang mapan, dll. Nah, hal-hal ini membuat manusia jadi semakin serakah, konsumerisme, individualisme, utilitarisme, materialisme, sekularisme, pluralisme, dan sebagainya. Yang mana semuanya itu mengubah total kebudayaan setempat, baik secara tradisi maupun agama.
3)      Bahaya yang paling parah adalah, akan bermunculan orang-orang yang mulai menawarkan “jalan pintas” menuju kebahagiaan dan kemakmuran hidup. Mereka ini (oknum-oknum) menawarkan ideologi mereka sebagai ideologi yang membebaskan umat manusia dari penderitaan, mengaku-ngaku sebagai mesias (juruselamat) dan membuat orang lain tertarik untuk mengikutinya. Etika membantu kita agar tidak mudah terpancing. Etika membuat kita berpikir logis dan objektif untuk membentuk penilaian kita sendiri. Maksudnya, kita jangan cepat-cepat percaya dengan segala pandangan yang baru, namun jangan juga menolak nilai-nilai pandangan baru yang bersifat positif.
4)      Etika sangat diperlukan bagi setiap orang yang beragama (percaya pada Tuhan), terlepas dari apa itu agamanya. Etika membantu mereka untuk menemukan dasar agama yang benar dan secara mantap melakukan ajaran agama dalam iman mereka. Mereka diajarkan untuk menerima keseluruhan agama namun juga menerima perubahan yang terjadi di masyarakat. Ada banyak kaum yang mengaku beragama namun tingkah lakunya jauh dari ajaran agamanya (misalnya kekerasan mengatasnamakan agama).

D. Bagaimana Hubungan Antara Etika dan Agama?
            Etika tidak bisa menjadi pengganti dari agama, namun etika dan agama saling hidup berdampingan. Kenapa etika juga diperlukan dalam agama? Sebab etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya pikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana Ia harus hidup jika Ia akan berbuat baik. Dalam agama dikatakan bahwa akal budi adalah ciptaan Tuhan dan diberikan pada manusia agar dapat digunakan dalam semua dimensi kehidupan. Jangan sampai akal budi dikesampingkan dan ajaran-ajaran agama menjadi sesuatu hal yang mutlak untuk diikuti. Hal ini berbahaya karena dapat menyebabkan fanatisme sempit dari agama. Itu sebabnya mengapa kaum beragama harus memakai etika dalam kehidupan sehari-hari.

E. Lalu Bagaimana Metode Etika?
            Metode etika memakai pendekatan “berpikir kritis”, maksudnya adalah berpikir “kenapa sih kok begini? Kenapa kok begitu? Apa yang menyebabkan hal itu bisa terjadi?”. Disini kita dituntut untuk mengamati realita moral yang banyak terjadi secara kritis, caranya adalah dengan mengamati kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma (aturan), dan pandangan moral. Ibarat kata, otak kita di-netral-kan dahulu dari pendapat-pendapat yang selama ini banyak kita terima dari orang lain.

F. Apa Sih Sebenarnya Moral Itu?
            Moral sederhananya adalah pandangan manusia terhadap manusia lainnya, dilihat dari berbagai macam segi. Contoh: Jason bilang pak Rudi adalah guru yang pelit nilai, tapi pak Rudi orangnya jujur dan  asyik buat diajak ngobrol/curhat. Penilaian pertama Jason ke pak Rudi bukan bersifat moral, penilaian kedua barulah bersifat moral. Hal yang sebaliknya misalnya Jason bilang pak Joni tidak pelit nilai, namun pak Joni “mata duitan” dan “minta ditraktir mulu”. Penilaian pertama lebih kepada segi profesionalisme kedua bapak guru, sedangkan penilaian kedua dilihat dari segi sifat dan kepribadian. Nah, sesuatu penilaian moral itu dilihat dari sifat-sifat kemanusiaannya atau perasaan-perasaan yang muncul. Moral itu adalah “baik-buruk” nya seorang manusia dalam menjalani hidup sebagai manusia tergantung pada siapa yang melihat. Jadi, bukan melihat dari profesionalismenya saja, misalnya jago masak, jago matematika, jago musik, dll. Moral dilihat dari segi “kebaikan manusia”. Nah, yang mengatur moral itu disebut dengan norma-norma. Jika digabungkan maka menjadi Norma Moral.
            Ada norma yang berbeda-beda, tergantung dalam bidang atau situasi khusus. Contohnya begini: memegang bola adalah hal yang biasa-biasa saja dan tidak melanggar norma masyarakat, namun akan berbeda apabila kita berada dalam pertandingan sepakbola selama 2 X 45 menit di lapangan, memegang bola (yang semula adalah hal biasa saja) menjadi hal yang haram dilakukan dan dilarang keras, setiap pemain berusaha agar tangannya tidak menyentuh bola (kecuali kiper). Apabila pertandingan selesai, maka kita bisa memegang bola (kembali ke kehidupan biasanya). Hal ini berlaku juga untuk aturan agama bagi para pemeluknya masing-masing. Atau peraturan di sekolah, hanya kita patuhi saat kita berada di sekolah, saat diluar sekolah maka peraturan-peraturan itu “lepas: dari tanggungjawab kita. Nah, norma ini sifatnya KHUSUS atau EKSKLUSIF, karena hanya berlaku pada situasi dan kondisi tertentu saja. Lalu bagaimana dengan norma yang umum? Norma moral umum dibagi lagi menjadi tiga yakni: (1) norma sopan santun, (2) norma hukum, (3) dan norma moral. Kita akan kupas satu-satu dari ketiga jenis norma tadi:
1) Norma Sopan Santun
            Norma ini menyangkut sikap lahiriah atau “yang kelihatan dan yang nampak”. Nah, norma sopan santun ini dapat mengungkapkan isi hati, namun tidak bersifat “moral”. Maksudnya begini: Joko orang Jawa dan Tigor orang Batak, saat ke rumah Joko, si Tigor langsung minta makan kepada mamanya Joko karena lapar. Joko mengatakan pada Tigor bahwa hal itu tidak sopan karena harusnya Tigor menunggu tuan rumah menawarkan makan dahulu. Nah, bagi Tigor hal itu biasa saja karena bagi orang Batak kalau malu-malu dan menganggap asing rumah yang dikunjungi, malah akan ditegur oleh tuan rumah. Coba kita lihat, ungkapan langsung si Tigor merupakan “isi hati” nya yang paling jujur (karena memang Tigor lapar sekali), namun bagi Joko hal ini tidak bersifat “moral” karena tidak sesuai dengan kebiasaan orang Jawa pada umumnya. Singkatnya, moral bagi Tigor berbeda dengan moral bagi Joko. Apakah dikatakan bahwa Tigor melanggar norma kesopanan? Jelas saja “YA”, karena Tigor tidak tahu adat istiadat Joko. Ada juga orang yang melanggar norma kesopanan karena dituntut oleh situasi. Misalnya demikian: Doni di dalam sebuah bis bersama dengan seorang wanita. Tanpa diketahui Doni, si wanita ini ternyata adalah penderita gangguan Epilepsi, tiba-tiba mengalami serangan Epilepsi. Doni yang merupakan anggota PMR tahu jelas bahwa seorang penderita Epilepsi apabila serangan harus mendapatkan asupan oksigen lebih banyak, dan otomatis Doni harus melonggarkan pakaian serta celana si wanita tadi. Apakah Doni melanggar norma sopan santun? Bisa dikatakan “YA”. Tetapi bila dilihat dari segi etika, hal ini sangat dibenarkan, karena jika dibiarkan dengan pakaian yang ketat itu, si wanita akan kekurangan oksigen dan dapat mengakibatkan kematian.
2) Norma Hukum
            Norma hukum adalah peraturan yang bersifat wajib atau dipaksakan dengan tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu dan urgen demi keselamatan, keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan umum/bersama. Karena bersifat wajib, maka tidak boleh dilanggar. Setiap pelanggaran pasti akan berbuah hukuman/sanksi/denda. Norma hukum bersifat mutlak, namun tidak permanen; dapat berubah-ubah sesuai situasi dan kondisi; serta memiliki landasan yuridis (hitam diatas putih) yang sah.
            Namun, apakah orang yang melanggar norma hukum otomatis melanggar etika? Tentu saja jawabannya bisa “YA” dan bisa pula “TIDAK”. Ada kasus dimana demi memenuhi tuntutan suara hati, orang rela untuk melanggar norma hukum. Suara hati sendiri dibedakan menjadi 2 yakni positif dan negatif. Suara hati yang positif misalnya seperti kisah Robin Hood (Sherwood Forest) pada masa pemerintahan raja Richard The Lion Heart di Britania, dimana Ia mencuri rumah-rumah orang kaya (bangsawan) yang serakah dan memeras rakyat kecil lalu membagikan hasil curian kepada orang miskin. Apakah Robin Hood melanggar hukum? Tentu saja “YA”. Sedangkan suara hati yang negatif adalah kasus terorisme yang mengatasnamakan agama, dimana Ia yakin bahwa perbuatannya akan mendapat jaminan Surga. Apakah teroris melanggar hukum? Tentu saja “YA”. Lalu apakah dengan menghukum orang-orang ini maka akan menjadikan mereka dari manusia dengan perilaku buruk menjadi baik? tentu saja tidak. Kenapa? Sebab hukuman “hanya” bertujuan untuk membuat pelakunya jera/kapok dan menjamin ketertiban umum. Masalah apakah dia menjadi baik atau tetap jahat, itu urusan belakangan, yang penting orang tersebut menjalani hukuman dan orang lain melihatnya.
3) Norma Moral
            Norma moral adalah tolok ukur, seperti alat pengukur berat badan, contoh: kita punya beras sekarung tapi tak tahu beratnya berapa, setelah ditaruh timbangan pengukur maka kita bisa katakan, “Oh, ternyata beras sekarung ini bobotnya 25 kilogram”. Nah, sama seperti contoh ini, kita bisa tahu, “Oh, orang ini ternyata baik sekali ya” atau “Ini orang nggak tahu diri banget ya! Nggak ada tata kramanya”. Darimana kita tahu? Dari norma moral yang mengatur masyarakat dimana kita tinggal. Siapa yang membentuk norma moral ini? Ya masyarakat yang ada di situ. Dengan moral, kita benar-benar dinilai oleh orang lain. yang dilihat dari diri kita bukan hanya satu segi saja, tapi banyak sekali, misalnya: kejujuran, disiplin, tanggungjawab, pemaaf, dll. Belum lagi hal-hal itu harus sejalan dengan perbuatan kita (berintegritas). Nah, permasalah moral ini sebenarnya merupakan masalah yang sulit sekali dicari kesamaannya, terlebih di negara kita yang memiliki beraneka ragam suku, bahasa, dialek, budaya, agama, dan ideologi. Contohnya demikian: Riko berwisata ke Merauke di Papua. Disana Riko melihat, baik kaum muda maupun tua memakai Koteka saja dengan menggendong Noken diatas kepala. Riko mengatakan dalam hatinya, “Aduh, mereka ini kok nggak sopan ya? Apakah mereka tidak malu dengan mempertunjukkan alat kelaminnya pada orang banyak?”. Sementara orang Merauke tadi juga berkata dalam hatinya, “Aduh pace ... ko pakai baju berlapis-lapis tidak panas kooo ... seperti mau pergi pesta saja, kurang tebal tu”. Coba kita lihat, moralnya si Riko beda dengan moralnya si orang Merauke tadi. Hal yang sama berlaku pada bahasa, dialek, agama, dan ideologi.


PENDALAMAN MATERI (Buatlah Essay)

Coba cari contoh-contoh dari ajaran moralitas tradisional dari daerah kalian masing-masing. Lalu berikan penilaian kalian sendiri terhadap ajaran moralitas tersebut, yaitu kelebihan dan kekurangannya.

1 komentar: