Sinau Toto Kromo
Oleh: Kak Willy Sohlehudin, S. Psi
SUARA HATI
Ada seorang hakim pengadilan, namanya Plod. Plod
adalah seorang hakim yang sangat jujur dan menjunjung
tinggi profesionalisme. Suatu kali Plod diberikan jabatan oleh
atasannya menjadi Kepala Hakim Wilayah Desa. Kebetulan,
di desa tersebut sedang ada kasus sengketa tanah yang
diperebutkan oleh masyarakat setempat dan pihak pemerintah
negara. Plod diminta untuk mendukung pemerintah negara dalam kasus sengketa
tanah ini, dengan kata lain Plod harus memenangkan kasus ini melalui sertifikat tanah
palsu. Sementara Plod mengetahui dengan pasti bahwa pemilik tanah sah ini adalah
masyarakat disitu, dengan bukti surat sertifikat. Plod menjadi bingung, di satu sisi Ia
harus profesional menuruti perintah negaranya untuk memenangkan kasus ini, di satu
sisi Ia juga mengetahui kebenaran dari kasus ini dan bahwa masyarakat yang berhak
atas tanah itu. Plod menghadapi 2 buah resiko, (1) memenangkan negara dengan
resiko menjual prinsip dan harga dirinya, (2) memenangkan masyarakat dengan
resiko bahwa Ia akan dihukum berat oleh negara dengan tuduhan berkhianat. Plod
bingung, Plod terlanjur percaya bahwa negara akan menyejahterakan masyarakat,
tetapi kenyataan yang Ia terima justru sebaliknya.
Apa yang dapat dipetik dari kisah pak hakim Plod tadi? Pertama, kita tahu
bahwa Plod dididik oleh negara agar ia tunduk dan patuh pada negara (dalam hal ini
atasannya). Hal ini tentu saja menciptakan profesionalitas di dalam hati Plod dengan
menanamkan pemahaman bahwa dirinya akan bersalah apabila melanggar perintah negara, apapun itu. Tetapi pengalaman diatas tadi malah membuat hatinya terguncang
dan semakin menyadari bahwa selama ini negara yang Ia kagumi untuk
menyejahterakan masyarakat malah menyengsarakan masyarakat. Dari sini Plod
belajar, “Oh, berarti tidak semua perintah negara harus saya turuti. Jika perintah itu
berlawanan dengan hati nurani saya, tidak akan saya turuti, meskipun nyawa
taruhannya”. Di dalam konflik batin tersebut, Plod sadar bahwa secara moral dirinya
menjadi mandiri atau dapat memutuskan sendiri apakah saya harus ikuti perintah itu
atau tidak. Nah, pada saat sadar itulah terjadi proses yang disebut “Suara Hati”. Lalu
apa itu suara hati? Suara hati adalah kesadaran manusia untuk mencari kepastian
terhadap kewajibannya sebagai manusia, dengan mengutamakan nilai-nilai
kemanusiaan dalam situasi yang sedang dihadapinya. Setiap manusia hatinya pasti
memiliki suara hati, tidak ada satu orang pun di dunia ini yang tidak memiliki suara
hati. Bahkan, para diktator macam Hitler, Lenin, Stalin, dan Pol Pot pun tentu
mempunyai suara hati, namun suara hatinya tersebut dikalahkan oleh dorongan
lainnya yang lebih kuat yang disebut dengan Ego.
Kemutlakan Suara Hati
Mutlak berarti sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi, sudah harga mati. Sama
seperti jika saya berkata kepada anda, “Jangan berbohong!”, perintah ini mutlak.
Dengan dua kata ini saja maka manusia dapat mengerti bahwa mereka harus berbuat
jujur dan mengatakan suatu hal sesuai dengan yang terjadi tanpa menambah atau
menguranginya sedikit pun. Kita harus bedakan apa itu suara hati dan apa itu
dorongan nafsu. Suara hati selalu berkata benar, dan suara hati selalu mengutamakan
kepentingan orang lain diatas segalanya. Jika ada bisikan dari dalam hati yang
bertujuan untuk menyenangkan diri sendiri dan merugikan orang lain, ITU BUKAN
SUARA HATI tetapi dorongan nafsu. Suara hati tidak lagi memikirkan untung-rugi,
suara hati justru menghilangkan keinginan-keinginan kita untuk memikirkan untungrugi.
Orang dengan suara hati adalah orang yang mampu mencapai level tertinggi
sebagai manusia yang kompleks. Mereka akan hidup dengan baik, jujur, adil, dan
bertanggung jawab.
Mengambil Keputusan
Bila kita akan mengambil keputusan, maka akan terdapat
dua buah momen: yaitu saat sebelum keputusan itu diambil dan
saat keputusan itu akhirnya kita ambil. Coba perhatikan, saat kita
belum mengambil sebuah keputusan, ada jeda waktu disitu.
Dalam jeda waktu itu, kita masih berpikir tentang bagaimana baik
buruknya keputusan yang akan diambil nanti, dan apa saja resikonya untuk masingmasing
pilihan. Yah namanya manusia, pasti pengennya pilihan yang resiko
negatifnya sedikit dan keuntungan positifnya banyak, wajarlah itu, cengli lah. Dalam
jeda waktu itu, kesadaran kita mulai muncul dan otak kita dituntut untuk berpikir
yang rasional alias yang masuk akal.
Pertama, kita butuh sikap keterbukaan. Terbuka berarti bersedia untuk
membiarkan pendapat diri sendiri dipersoalkan oleh diri sendiri. Masalahnya, kalau
kita mau mengambil keputusan, maka kita cenderung lebih condong ke satu sisi yang
kita anggap paling benar. Contohnya, saya ketahuan merokok di sekolah ...
pilihannya adalah (1) apakah saya mengaku, meminta maaf, dan menerima resiko,
atau (2) saya akan kabur dari rumah selama 3 hari, mungkin papa mama nggak akan
marah lagi (sudah reda marahnya). Nah, pasti cenderungnya akan pilih yang nomer 2.
Nah, yang kaya gini nggak boleh. Kita harus mau dan bersedia secara kritis
mempertanyakan pilihan yang nomer 2, “Bener nggak ya kalau saya pilih nomer 2?
Resikonya apa ya?”.
Caranya gimana? Caranya adalah kita harus mencari informasi yang
diperlukan untuk mendapatkan gambaran atas masing-masing pilihan secara tepat.
Kita harus tahu dulu apa masalahnya, kita kaji dan kita pelajari masalahnya,
misalnya; “Pilihan nomer 1 itu akan membuat saya di-cap sebagai anak yang jujur
dan baik, ini bagus dong, sebagai langkah awal saya untuk mau berubah jadi anak
baik ... tapi nanti saya pasti dihukum di sekolah dan di rumah, aduh gimana nih?” -
lalu pilihan nomer 2 - “Pilihan nomer 2 membuat saya aman dari “gempuran” guru,
kepala sekolah, mama, dan juga papa ... saya aman. Tapi pasti saya tambah di-cap
sebagai anak badung, anak pengecut, dan anak nakal yang nggak bisa diatur, wah
berarti saya sudah di-cap jelek nih sama orang-orang, gimana ya?”. Kegalauan
seperti ini harusnya tidak akan terjadi jika kita mencari informasi. Informasi yang
dimaksud adalah berbagai pertimbangan yang harus kita cari melalui refleksi atau
instropeksi terhadap kesalahan kita, baik melalui diri sendiri ataupun dengan bantuan
orang lain (curhat). Nah, hal ini bagus untuk melatih kepekaan dari suara hati kita.
Tentunya ini akan membuat kita semakin berproses dalam pertumbuhan menjadi
orang dewasa yang baik kelak.
Seorang ahli filsafat abad 20 yaitu Jean-Paul Sartre mengatakan bahwa,
“Setiap bisikan pertama kali yang datang dari dalam hati manusia, itulah suara hati
yang sebenarnya, dan itulah hati nurani yang sesungguhnya ... setelah itu, yang ada
hanyalah bisikan nafsu belaka”. Apabila (kalau pun) keputusan yang kita ambil itu
ternyata mudharat (lebih banyak efek negatifnya daripada positifnya), lalu
bagaimana? Tentu kita wajib untuk setidaknya mengurangi efek negatifnya tersebut.
Yang namanya pilihan, pasti pada masing-masing pilihan keputusan itu ada baik dan
buruknya ... misalnya kita pilih A, didalam A itu sendiri ada dampak kebaikan dan keburukan. Kalau pun kita pilih B, didalam B itu juga ada dampak kebaikan dan
keburukan. Jangan sampai jika keputusan yang kita ambil merugikan orang lain dan
kemudian kita berkata, “Yah, saya kan sudah berusaha sebaik-baiknya, ternyata
hasilnya begini ... ya sudahlah terima saja!”, Ohohohohoooo ... nggak bisa begitu
bosss! Kita tetap harus bertanggung jawab terhadap apa pun keputusan yang kita
ambil baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, jangan sampai merugikan orang
lain. setidaknya, kalau pun keputusan itu pada akhirnya merugikan orang lain, kita
harus berusaha untuk mengurangi atau menghilangkan kerugian tersebut. Ada
pepatah dari Konfucius yang mengatakan demikian, “Seorang guru meditasi yang
memberi nasihat akan kalah dengan seorang pekerja kasar yang memberi nasihat,
instruksi kerja, dan solusi akhir”.